by

Politik sebagai Sakramen Gereja Oleh Drs. Ruddy Nararyo Saroyo – Bagian III

-Politik-989 views

Gereja adalah bagian dari pengalaman umat manusia akan kegembiraan, sukacita, harapan serta duka dan kecemasan sehari-hari. Gereja adalah umat Allah. Konsep Gereja sebagai umat Allah ini dirumuskan secara sangat baik dalam GS 1:

Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”.

Pernyataan Konsili Vatikan II ini mereflesikan adanya keterbukaan luar biasa dari pihak Gereja terhadap kehidupan publik. Gereja membuka mata dan hati serta peka terhadap berbagai perubahan yang terjadi serta gejolak hidup di tengah masyarakat. Gereja lebih aktif mengintegrasikan diri dengan pengalaman hidup umat manusia dan lebih terbuka terhadap situasi politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, perumahan, keadilan sosial, kesejahteraan serta lingkungan hidup masyarakat. Kehadiran Gereja di tengah masyarakat tidak sekedar menjalankan upacara keagamaan dan merespon kebutuhan spiritual, tetapi juga memberi pendampingan kepada masyarakat terutama kepada mereka yang kecil, tersisihkan dan tidak berdaya agar mampu terlibat aktif dalam dialog dan mengambil keputusan berkaitan dengan berbagai isu sosial, politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan agama yang mereka hadapi.

Gereja tidak hidup dalam ruang yang kosong. Ia ada di dunia dalam satu wilayah tertentu. Wilayah itu adalah ‘negara’. Tidak bisa tidak gereja berada dalam ikatan bersama dengan penghuni lainnya di wilayah itu. Dalam wilayah negara itulah tujuan bersama digariskan dan disetujui oleh semua pihak, termasuk Gereja, serta direspon secara bertanggung jawab, tidak sekedar mampir ngombe, tapi hidup, berkembang sekaligus berefleksi dengan tuntutan imannya.

Gereja dan Negara mempunyai tugas yang berbeda, walaupun keduanya mempunyai dasar tugas yang sama yaitu mengupayakan kesejahteraan manusia. Fokus gereja dalam mengupayakan kesejahteraan itu adalah keselamatan kekal. Sebagai Sakramen Keselamatan, Gereja adalah alat Kristus. Gereja di dalam tangan Tuhan adalah “alat penyelamatan semua orang” (LG 9), yang olehnya Kristus “menyatakan cinta Allah kepada manusia sekaligus melaksanakannya” (GS 45,1). Ia adalah “proyek yang kelihatan dari cinta Allah kepada umat manusia”.

Sementara fokus negara adalah kesejahteraan di dunia ini.Dalam pandangan St. Agustinus, bahwa negara adalah alat kesejahteraan Allah. Sistem politik bertugas untuk menjaga agar tujuan demi kesejahteraan bersama bisa tercapai. Sejatinya pengertian politik itu dapat dilihat dalam pendefinisian klasik Aristoteles bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Politik adalah pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa.

Yang terpenting adalah kesejahteraan masyarakat bukan pengelola Negara. Kalau demikian, sebenarnya sekarang politik dapat dilihat sebagai sakramen, politik sebagai perbuatan yang suci. Pemikiran Eddy Kristianto, OFM ini lebih berdimensi kritik atas Gereja yang masih alergi dengan istilah politik dalam dirinya sebagai agen keselamatan dunia. Politik tetap sebuah entitas otonom, tetapi diberi warna yang manusiawi dan Ilahi. Yang mau dikedepankan adalah mengenai keterlibatan Gereja dalam ruang publik ( kepentingan umum) untuk mencapai target Bonnum Commune (kesejahteraan umum) dan Summum Commune ( kebaikan umum) yang selaras dengan suara keprihatian Gereja akan dunia,membebaskan rakyat dari kemelaratan hidup.

Keterlibatan Gereja dalam politik mengarah kepada tindakan keselamatan universal yang mengemban kecemasan, kegembiraaan dan dukacita seluruh umat manusia (Gaudium et Spes No.1). Poin penting dalam hal ini adalah tindakan Gereja yang partisipatif dalam pesoalan universal. Gereja mengambil bagian secara intens dan tanpa ada rasa takut sedikit pun memerangi kemiskinan, keborokan moral, dan masalah ketidakadilan serta pelecehan Hak Asasi Manusia yang mengusik nurani Gereja untuk bersaksi dan terlibat. Sehingga teologi yang suci bagi Gereja harus menjadi teologi yang terlibat atau partisipatif.

Terlibat dalam dunia politik merupakan anugerah yang terbesar, mengingat misteri inkarnasi sendiri langsung berkaitan dengan hal tersebut. Allah menjadi manusia merupakan pencerahan bagi manusia karena Allah turut berpartisipasi dengan kehidupan manusia dan rela menjadi bagian dari anggota masyarakat. Kekotoran dan kehiruk-pikukan dunia ini tidak menghalangi rencana Allah untuk terlibat aktif dan menjadi bagian dari kekotoran dunia itu. Maka secara teologis, keterlibatan umat beriman dalam politik bangsa mendapat akarnya dalam misteri Inkarnasi. Keterlibatan umat dalam kehidupan sosial-politik harus menjadi sebuah komitmen kolektif. 

Politik dibagi dalam dua bentuk yaitu politik kekuasaan dan politik kepeduliaan sosial (kemanusiaan). Mereka yang tidak terjun dalam pertarungan perebutan kekuasaan, mengaplikasikan politk dalam kepeduliaan sosial, tanggung jawab dan panggilan kewarganegaraan. Perjuangan, keberpihakan dan keterlibatan Gereja terhadap masalahmasalah kemanusiaan dalam kerangka politik kemanusiaan, karena yang diperjuangkan oleh Gereja adalah harkat dan martabat manusia.

Yang harus dilakukan Gereja adalah mengawal kiprah negara untuk bertanggung jawab meningkatkan kehidupan ekonomi dan sosial, terutama masyarakat lemah. Itu ruang interupsi Gereja terhadap negara. Jika negara, yang bertindak melukai kemanusiaan dan mendatangkan kejahatan, di sanalah interupsi politik dilakukan. Tanpa keberanian untuk melakukan itu, maka esensi gereja untuk bersama negara melahirkan kesejahteraan manusia dalam penyelenggaraan Allah menjadi hilang. Ketidakberanian gereja untuk melakukan interupsi politik bisa jadi menyebabkan gereja tidak melakukan apa-apa.

 

Halaman IV

Kontributor

Comment

Leave a Reply