Apa makna religiusitas bagi kehidupan publik dan politik? Untuk apa atau untuk siapakah Gereja hidup dan melayani? Jawabannya, pertama tentunya adalah untuk Allah. Namun jawaban itu masih abstrak dan masih bisa dikejar lagi dengan sebuah pertanyaan, lalu apa bentuk sebuah pelayanan yang diperuntukkan bagi Allah? Salah satu jawaban utamanya adalah hidup yang melayani kesejahteraan manusia sebagai sesama (bdk. Matius 24:3146).
Maka sebenarnya tujuan Gereja hidup tidak terlalu berbeda dengan tujuan negara. Aristoteles mengatakan bahwa tujuan negara adalah sepenuhpenuhnya demi kesejahteraan manusia. Dalam negara semua persekutuan hidup dirangkul, diberi tempat dan ditata untuk kesejahteraan warganya. Tujuan negara bukanlah untuk dirinya sendiri. Pada dasar inilah politik mendapatkan tempat berpijak sebagai kesempatan untuk menata kehidupan bernegara.
Dengan demikian titik singgung gereja dengan politik bukanlah sesuatu yang mengada-ada, melainkan sesuatu yang legitim. Karya dan pelayanan gereja berurusan dengan sepenuh-penuhnya kesejahteraan, kasih, perdamaian dan keadilan manusia dan alam semesta dalam sebuah konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya tertentu. Itu hanya bisa dilakukan dalam ranah politik, dalam sebuah keterlibatan dalam kebijakan-kebijakan publik. Karena itu, alergi dalam bidang politik adalah sebuah kesalahan besar.
Jika gereja alergi dalam bidang politik, lalu bagaimana suara kenabian yang berurusan dengan kesejahteraan bersama, keadilan, kasih dan perdamaian bisa disuarakan? Untuk itu secara terukur dan dinamis gereja perlu terus menerus merefleksikan kiprahnya di bidang politik.
Apa itu teologi politik? Teologi adalah secara umum dipahami sebagai sebuah diskursus tentang Allah dan manusia, dalam hubungannya dengan Allah. Sementara itu politik dari akar kata politeia, mengatur kota, bisa dipahami sebagai kekuasaan untuk mengatur sebuah komunitas agar mencapai tujuannya.
Dengan demikian teologi politik adalah sebuah analisis atau kritik atas kehidupan politik dari segi cara Allah menyelenggarakan kehidupan. Secara tidak langsung teologi politik menyediakan basis refleksi dalam konteks hubungan Gereja dan negara. Dengan basis refleksi yang kuat, umat akan terus menerus dipandu untuk menghidupi imannya dalam kekinian jaman.
Ruang” manakah yang mengundang keterlibatan politik Allah? Adanya penderitaan sosial. Kita bisa belajar dari Israel dalam Perjanjian Lama. Peristiwa Keluaran adalah salah satu contoh bagaimana teologi politik Israel. Keterlibatan Allah dalam drama pembebasan Israel dari Mesir memperlihatkan sebuah interupsi politis Allah dalam tatanan politik Firaun. Bahwa Israel adalah pendatang di Mesir dan mendapatkan perlakukan seperti halnya budak adalah sebuah keputusan politik (bdk. Keluaran 1:9).
Israel menolak untuk diam menghadapi penderitaan itu. Mereka kemudian bersuara atas penderitaan yang mereka alami. “Suara” yang berbunyi itu menunjukkan penolakan mereka terhadap tindakan politis pemerintah Firaun. Suara itu adalah suara korban.
Pepatah dalam bahasa Latin mengatakan vox victimarum vox dei, suara korban adalah suara Tuhan. Suara itu didengar oleh Allah (Kel 2:23-23). Allah lalu terlibat dan menginterupsi sebuah tatanan politik hasil kebijakan Firaun yang sudah berlaku bertahun-tahun. Selanjutnya lewat tangan Musa, Allah terlibat secara politik membebaskan Israel dari penderitaan. Israel pun kemudian mendapatkan keberanian politik untuk melawan Mesir.
Kita juga bisa belajar dari Perjanjian Baru. Apa yang ada di benak Yesus ketika ia marah dan memporak-porandakan pelataran Bait Suci tempat dijajakannya berbagai dagangan, terutama untuk kebutuhan mereka yang hendak bersembahyang di Bait Suci (Mat 21:12-17; Luk 19:45-48; Yoh 2:1316)? Pelataran yang dipergunakan sebagai pasar, tempat jual beli, memperlihatkan bahwa religiusitas menjadi tidak lebih dari hal jual beli.
Hal ini kontras bila dibandingkan dengan misi Yesus di dunia ini. Bukan sebuah misi jual beli, melainkan misi pengorbanan. Tindakan Yesus memperlihatkan sebuah interupsi terhadap kebijakan politik Bait Suci. Sekaligus tindakan Yesus merupakan interupsi terhadap kebijakan pemerintah Roma yang memungut ‘uang keamanan’ kepada Bait Suci melalui raja wilayah. Di tanahnya sendiri orang Yahudi harus membayar pajak supaya bisa beribadah dengan nyaman kepada Allah.
Yesus juga menunjukkan kepatuhan-Nya dengan membayar pajak, namun kepatuhan itu tidak menghilangkan kritik Yesus atas sistem pajak yang ada. Matius 22:21 menjadi salah satu contoh terkenal penekanan Yesus bahwa kepatuhan akan kaisar berada dalam wilayah kepatuhan akan Allah.
Dalam konteks Yesus, pengalaman pribadi-Nya bersama dengan orang Yahudi adalah konteks politik yang mengundang diri-Nya untuk terlibat menginterupsi berbagai kebijakan para pemimpin, terutama pemimpin agama Yahudi.
Ketika Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat atau memberi makan murid-muridnya pada hari Sabat, semuanya menunjukkan interupsi Yesus atas kebijakan dan tatanan politis yang digariskan oleh pemimpin-pemimpin agama Yahudi. ‘Ruang’ yang dipakai oleh Yesus untuk menginterupsi adalah pengalaman dirinya sendiri. Tidak ada yang lebih kuat selain pengalaman diri sendiri atas suatu peristiwa.
Comment