Wartaindonews, Jakarta – Berita tentang adanya seorang wanita non muslim berinisial SM yang masuk kedalam Masjid Al-Munawaroh di Sentul dalam keadaan marah dengan membawa anjing dan memakai alas kaki tentunya akan membuat sebagian orang menyeritkan dahi.
Dari sebagian orang di medsos akan menimbulkan macam macam opini yang berbeda, sehingga akan memicu perseteruan didalam medsos. Salah satu fakta yang beredar menyebutkan bahwa riwayat wanita tersebut pernah mengalami gangguan sakit jiwa hingga pernah dirawat di rumahsakit jiwa.
Saat ini kasus tersebut sudah di tangani oleh Polres Kabupaten Bogor. Jika terbukti, wanita tersebut akan kena beberapa pasal pidana
Pertama pasal 156 KUHP tentang dugaan penistaan terhadap agama karena SM membawa anjing dan tidak melepas alas kaki saat masuk ke masjid.
Kedua, Penghinaan yang dilakukan dengan “menuduh suatu perbuatan” termasuk pada delik penghinaan Pasal 310 KUHP karena SM menuduh pengurus masjid menikahkan suaminya.
Ketiga adalah penganiayaan pada pasal 351 KUHP karena menyerang petugas keamanan masjid bernama Ishak yang dipukul di bagian bibir ketika memberi peringatan dan membujuk SM keluar.
Saat ini Polres Kabupaten Bogor telah mengumpulkan barang baukti berupa keterangan dari 5 orang saksi, rekaman video dan pakaian yang dikenakan oleh SM saat kejadian tsb.
Saat ini Polres Kabupaten Bogor masih berkoordinasi dengan pihak kejaksaan untuk penanganan kasus tersebut sambil menunggu pemeriksaan SM di RS Kramatjati, Jakarta.
Jika nantinya SM memang saat ini mengalami gangguan sakit jiwa, maka SM tidak memiliki unsur kesalahan dimana perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan,sehingga Pasal 44 KUHP dapat diterapkan dalam kasus ini. Terkait Pasal 44 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 61) bahwa dalam praktiknya jika polisi menjumpai peristiwa semacam ini, ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses verbal.
Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, meskipun ia dapat pula meminta nasihat dari dokter penyakit jiwa.
Penyidik dalam hal ini adalah kepolisian tidaklah berwenang menentukan kejiwaan seorang pelaku tindak pidana kemudian melepaskannya begitu saja. Hal ini berkaitan dengan tugas tugas penyidik berdasarkan Pasal 7 ayat (1) KUHAP terkait tugas penyidik mengadakan penghentian penyidikan, harus dilihat kembali apa saja syarat untuk dilakukannya penghentian penyidikan sebagaimana terdapat dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP:
a. tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut
yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka.
b. peristiwa yang disidik oleh penyidik ternyata bukan merupakan tindak pidana
c. atau penyidikan dihentikan demi hukum.
Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena ne bis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa
Dari beberapa hal di atas, penghentian penyidikan tidak dilakukan walaupun pelaku tindak pidana mengalami gangguan kejiwaan. Dengan demikian, hal tersebut semakin menegaskan bahwa penyidik kepolisian tidak berwenang melepaskan pelaku tindak pidana yang diduga mengalami gangguan kejiwaan, hakimlah yang berwenang untuk menentukan apakah pelaku mengalami gangguan kejiwaan berdasarkan bukti yang ada melalui pemeriksaan di pengadilan. (Bayu Firdaus)