Wartaindonews – JAKARTA. Seruan untuk jangan golput dalam pemilu 17 April 2019 itu disampaikan oleh pendeta Prof. Andreas A. Yewanggoe, anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam Dialog Kebangsaan bertajuk “Gereja Menyambut Pesta Demokrasi 2019” yang digagas oleh Forum Umat Kristiani Indonesia (FUKRI), 25 Maret 2019 di Salemba, Jakarta.
Situasi politik di jaman Orde Baru (Orba) berbeda dengan situasi politik sekarang. Hak untuk golput yang dipopulerkan oleh Arief Budiman dahulu jangan lagi dipakai dalam situasi pemilu sekarang ini. Yang dipertaruhkan bukan hanya memilih pemimpin, tapi menurutnya sudah pertaruhan ideologis, dan karenanya menjadi tugas kita semua mempertahankan Indonesia.
Mengutip Franz Magnis Suseno, pemilu bukan untuk memilih yang terbaik tapi untuk mencegah jangan sampai yg terburuk berkuasa. Dicontohkannya Hitler dan Nazi menang di Jerman karena banyak warga Jerman yang golput. Partisipasi warga adalah denyut nadi demokrasi.
Jangan membunuh demokrasi atas nama demokrasi. Alat atau cara untuk membangun demokrasi adalah melalui pemilu. Demokrasi terus bergulir secara dinamis, namun di era reformasi sekarang ini kita gagap dengan Pancasila dan demokrasi.
Adanya kita sebagai bangsa adalah suatu novum karena sebelumnya tidak ada yang namanya Indonesia. Yang diproklamasikan bukan hanya negara tapi juga bangsa Indonesia. Dasar
kebangsaan kita adalah Pancasila. Rasa dan praksis kebangsaan kita harus terus menerus diangkat, semangat, rasa & kecintaan pada bangsa Indonesia harus terus dipupuk.
Karena itu yang mencoba menggerus praksis dan rasa kebangsaan sama dengan bunuh diri sendiri. Ditengarai ada keinginan sebagian orang merubah Pancasila dengan ideologi lain. NU dan
Muhamadiyah sudah menyatakan menolak keinginan itu. Maka umat kristen tidak bisa netral terus, harus berpihak.
Ini bukan soal kristen lawan non kristen, tapi jika ada sebagian orang menginginkan bentuk negara kerajaaan/khilafah, maka itu bertentangan dengan jaman. Sebagai bangsa tidak mungkin kita kembali ke abad pertengahan, abad padang pasir. Khilafah sudah berakhir sejak Kemal Ataturk menumbangkan dinasti Otoman. Khilafah tidak pernah ada dalam sejarah Indonesia, tetapi bukan berarti tidak ada ancaman.
HTI sekali pun sudah dibubarkan, diakui secara ideologi tidak gampang dibasmi, malah sudah bermetamorfosa di berbagai bidang. Ancaman demokrasi justru datang dari dalam (ideologi fundamentalis, radikalis, dan ekstrimis).
Mengutip pendapat Yuval Noah Harari, seorang sejarawan Israel yang menjabat sebagai profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem dan penulis buku Sapiens: A Brief History of Humankind dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, pada tahun 2050
akan menjadi titik naik peradaban, peradaban manusia akan mencapai peradaban yang luar biasa.
Sementara itu tiga ideologi besar sejak revolusi industri yaitu komunisme dan fasisme sudah mati, sedangkan liberalisme sedang menghadapi jalan buntu di era digital, mengalami fase deterministik. Manusia digantikan algoritme, artificial intelligent, revolusi industri 5.0. Dunia masuk peradaban digital. Lantas, apakah Indonesia masih ada pada tahun 2045 nanti?
Dengan kepemimpinan nasional yang kuat, yang optimistik bukan pesimistik, yang punya visi ke depan menyiapkan Indonesia yang maju tahun 2045-2050, cetak biru masa emas Indonesia
bisa diwujudkan. (RNS)
Comment