Kampanye Pemilu berjalan cukup panjang 7 bulan (sampai 13 April 2019), ada pertarungan manajemen isue dan konflik, political marketing yang cukup memakan energi sejak 23 September 2018. Sampai menjelang April besok akan banyak masalah hukum yang muncul ke permukaan sebagai bagian dari propaganda dan delegitimasi pihak lawan,akan intens menghajar kepercayaan publik kepada pasangan capres.Mengkhawatirkan proses-proses mengkapitalisasi secara berlebihan menggunakan emak-emaksebagai senjata, sebagai strategi mencari bermacam cara untuk proses-proses politik yang menguntungkan.Kalau 2019 proses politik tidak beradab akan dipersepsi orang luar menjadi tidak terbuka, tidak adil dan tidak jujur.
Kritik oleh Gun Gundialamatkan terhadap design kampanye yang tidak efektif.Debat capres tidak adu visi misi dan program sampai Desember 2018, justru numpuk di belakang, perdebatan baru muncul setelah unicorn dan penguasaan lahan.
Pemilu itu adalah sirkulasi elit, karena itu diingatkan Gun Gun, jangan baperan. Soal peta siapa yang menang di pemilu ada yang bisa diprediksi ada yang tidak. Membaca peta elektoral membuat kita mempunyai keyakinan dalam memilih dan berpartisipasi tanggal 17 April besok. Pada pemilu legislatif 2019 sudah jelas dan predictable. PDIP, Gerindra dan Golkar akan memenangi pemilu 2019 sebagai 3 besar, tapi ada sejumlah partai yang berpotensi tidak lolos dan duduk di DPR. Banyak partai baru yang diprediksi tidak lolos ambang batas parlemen 4% antara lain berat di penguasaan teritori karena lemahnya party ID dan figur caleg.
Basis dukungan pemilih itu sangat sosiologis, dipengaruhi oleh polarisasi ideologi, agama, etnis, kedaerahan. Yang kemudian keliru adalah mengkapitalisasi politik identitas (sentimen agama, etnik, ras dll) dengan model proteksionis yang membuat masyarakat terbelah. Basis pemilih di Indonesia terlihat dari pemilu ke pemilu sangat cair, peta kekuatan itu masih bisa berubah dari suatu waktu ke waktu lain.
Pemenang sangat ditentukan oleh kehadiran sosok sentral yang maju di pilpres. Coat-tail effect hanya dinikmati oleh partai pengusung capres cawapres.Partai lain harus berjuang di teritorinya dengan berjibaku. Oleh sebab itu menjadi persoalan klasik dalam pemilu adalah praktek politik uang. Masalahvote buying,mengutip riset Burhanuddin Muhtadi konon Indonesia juara ketiga di dunia setelah Uganda dan Benin, keduanya negara Afrika,masyarakat permisif membolehkan bahkan menjustifikasi politik uang.
Warga diharapkan memiliki kemampuan mendefinisikan kebutuhan terhadap informasi politik (defining the need of political information) di pemilu. Tidak hanya percaya pada satu sumber informasi yang memang dibikin untuk mempengaruhi khalayak dengan kebohongan, bisa keliru,misleading atau misconnection. Warga juga diharapkan mau dan mampu melakukan pencarian informasi dan terlibat dalam gerakan mengkomunikasikan informasi terutama komunikasi persuasif ke lapis pemilih milenial,serta bisa mengevaluasi proses pemilu.
Membangun kesadaran politik menjadi solusi yang sangat penting. Kita butuh bentuk partisipasi yang menguatkan, bukan yang memporakporandakan. Menutup pertemuan tersebut, Ruddy Nararyo, Ketua Hubungan Antaragama dan Kemasyarakatan Gereja St. Stefanus mengajak dan menyerukan agar umat katolik tidak libur, tidak kabur di hari Rabu, 17 April 2019 nanti.
Jangan golput, datang ke TPS, gunakan hak pilih dan awasi hasil perhitungan suara di TPS.Dikonfirmasi oleh Wartaindo.news, Ruddy mengatakan bahwa pertemuan yang digagasnya itu memang untuk memberikan kesadaran kepada peserta tentang pentingnya berhikmat menggunakan hak politik dan membangun sikap bersama menghadapi Pemilu 2019. Partisipasi adalah jantung pemilu dan demokrasi, partisipasi memastikan kedaulatan rakyat. Hal ini selaras dengansalah satu rumusan rekomendasi Temu Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Regio Jawa di Jakarta tanggal 8-10 Februari 2019 yang lalu, dikatakan bahwa “umat (katolik) ambil bagian dalam menggunakan hak pilih (tidak golput) sebagai buah-buah pertobatan Prapaskah”. (RNS)
Comment