Demokrasi kita semakin terbuka terutama sejak pemilu 1999, semua mempunyai kesempatan yang sama, bukan korporatisme negara di mana posisi kekuasaan yang tersentral seperti jamanOrde Baru. Ciri pembeda dan unik di pemilu 2019 adalah perkembangan ICT (information & communication technology).
Realitasnya tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Amerika, Brasil, Italia, Hungaria, ICT memainkan peran yang sangat dominan. Orang terkaget-kaget ketika Donald Trump memenangi kontestasi, orang tercengang ketika Jay Bolsonaro menang di Brasil. Sekarang orang mengkonsumsi, mereproduksi, mendistribusikan informasi secara gampang, maka firehose of falsehood itu bisa dan ampuh dicopy di banyak negara. Melihat modusnya, ada upaya melakukan proses-proses copypaste apa yang terjadi di Amerika dalam pemilu 2019.
Hari ini banyak orang yang sakit, karena mengkritik tidak dalam tataran kritik tapi sudah masuk ke hatespeech, hoax, yang mengancam proses konsolidasi demokrasi akibat tidak menghormati perbedaan pilihan dan pandangan. Sirkulasi elit itu meninggalkan residu, antara lain residu yang berhubungan dengan sikap orang yang sangat negatif terhadap yang berbeda pilihan. Jika memasukkan aspek agama atau ideologi, akan terjadi konflik yang bersifat unrealistic, yang sulit disembuhkan dan bisa merusak. Kritik boleh, tapi yang memenuhi aspek keadaban publik. Mengembangkan respek jauh lebih baik untuk perkembangan konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Ada 2 (dua) hal yang menggerakkan orang untuk ke TPS, yaitu karena adanya hoax, dan karena adanya ketakutan. Orang bisa saja masuk karena ketakutan-ketakutan, bukan tidak mungkin kemudian berpaling dari salah satu calon yang punya rekam jejak bekerja tapi karena ada proses ketakutan yang diulang-ulang bisa terpengaruh. Ini yang disebut ICT yang harus menjadi catatan kritis semua pegiat pemilu, aktivis NGO, akademisi, media, dan lain-lain.
Supaya kita mewujudkan peradaban politik, termasuk di dalamnya ada signi culture yang positif akibat pola produksi, reproduksi, dan konsumsi informasi yang baik. Menurut Gun Gun sebenarnya siapapun yang menang boleh saja, cuma kalau caranya menebar ketakutan, kebohongan, mengcopypaste cara-cara yang menjurus memecah-belah keragaman, itu berbahaya bagi Indonesia. Menjadi penting pengelolaan opini di media masa dan media sosial, terutama hoax, firehose of falsehood yang terus digelontorkan secara multi kanal dan datanya tidak verifikatif, kadang inkonsisten dari satu narasi ke narasi yang lain.
Semua kontestan membutuhkan modal dasar elektoral yang disebut aspek probalilitas perolehan suara, berupa tingkat penerimaan (akseptabiltas) – soal bagaimana bisa diterima khalayak, dan tingkat keterkenalan (popularitas) – kalau tidak dikenal ya tidak akan dipilih. Problem pemilu yang harus diwaspadai adalah cost of entry, biaya masuk gelanggang, dari yang rasional sampai yang tidak rasional. Banyak mereka yang berkontestasi dihadapkan pada problem serius soal cost of entry ini dan secara psikologis membebani.
Dalam Pilpres bahkan bisa saja ada investasi dari pihak ketiga, sehingga biasanya demokrasi mulai mengalami reduksi saat terjadi proses biaya masuk pertarungan itu. Dalam kontestasi elektoral bukan hanya antarpartai tapi juga internal partai, ada pertarungan power dan authority (dan figur) yang luar biasa di internal parpol untuk mendapatkan posisi strategis sebagai caleg di nomor urut terutama di partai-partai besar.Logikanya masih seperti proporsional tertutup, masih nomor urut seperti sebuah keharusan,padahal dalam sistem proporsional terbuka seperti sekarang suara terbanyak yang memenangi kontestasi.
Keuntungan kekuasaan di esok hari jika duduk dalam pemerintahan (benefit of office) menjadi daya tarik banyak parpol, mitra koalisi setelah selesai pemilu justru masuk mitra partai yang sebelumnya berada di kubu lawan. Pola koopsi dalam konteks hubungan politik (sering gonta-ganti pasangan) masih harus terus menerus diperbaiki. Opportunity structure ini tetap akan menjadi warna dalam pemilu 2019.