SYUKUR SEBAGAI ‘WAY OF LIFE’

Artikel650 views

Dalam hidup bermasyarakat sehari-hari, kita pasti pernah mendapat undangan dari teman, sahabat, saudara atau bos untuk menghadiri pesta syukur. Ada beraneka ragam syukur. Mulai dari syukur atas kelahiran anak, bisa menyelesaikan studi tepat waktu dengan hasil yang baik, mendapatkan pekerjaan, kenaikan pangkat, mendiami rumah baru, ulang tahun kelahiran, ulang tahun pernikahan, sembuh dari sakit, dll. Inti syukur adalah ungkapan kegembiraan atas terwujudnya harapan atau keinginan atau cita-cita, yang bisa jadi sudah lama diupayakan dengan bekerja keras, dengan perjuangan yang gigih. Sebagai orang beriman, syukur atas apa yang kita harapkan atau inginkan tidak lepas dari campur tangan atau pertolongan Tuhan.  Maka syukur apapun, pertama-tama kita bersyukur kepada Tuhan. Baru kemudian syukur kita tunjukkan kepada orang-orang yang telah mendukung kita sehingga harapan atau keinginan atau cita-cita kita terwujud. Teman-teman pendukung itupun sebenarnya merupakan kepanjangan tangan yang dipakai oleh Tuhan demi terwujudnya harapan atau keinginan atau cita-cita kita. Kemudian rasa syukur itu diwujudkan berupa kegembiraan dengan mengadakan pesta dan mengundang tetangga, saudara, teman, kerabat dan orang-orang dekat. Intinya berbagi kegembiraan.

Namun diantara banyak orang ada juga orang yang tidak tahu atau tidak mau bersyukur atas pemberian Tuhan, seperti 9 (sembilan) orang kusta yang disembuhkan dan tidak kembali kepada Yesus untuk bersyukur kepada Yesus (Lihat kesepuluh orang kusta – Lukas 17:11-19). Dari 10 (sepuluh) orang kusta yang disembuhkan, hanya seorang saja yang kembali kepada Yesus untuk bersyukur. Mengenai orang yang tidak bersyukur setelah permohonannya dikabulkan oleh Tuhan, ada kisah nyata. Ceritanya begini: Ada seorang kenalan saya yang mata pencahariannya buka toko. Awal usahanya ya kecil-kecilan. Dia seorang Katolik, rajin berdoa dan mohon kepada Tuhan agar usahanya berkembang. Akhirnya permohonannya terkabul. Tokonya bertambah besar, pembelinya tambah banyak, tambah laris manis. Sebelum lutut saya sakit, dulu setiap hari jalan pagi bersama isteri saya sambil belanja sayuran untuk makan hari itu. Saya sering lewat depan toko kenalan saya ini. Kadang-kadang saya mampir untuk beberapa saat sekedar omong sana omong sini. Bahkan kadang saya beli sesuatu di toko kenalan saya ini. Pernah pada suatu hari minggu, saya lewat di depan tokonya dan mampir sebentar. Karena hari itu hari minggu, saya bertanya kepadanya: ‘Sudah pergi ke Gereja?’. Jawabannya sungguh di luar dugaan saya. ‘Wah, kalau saya ke Gereja, bagaimana dengan dagangan saya. Rugi dong, Pak!’. Dulu, orang ini waktu usahanya masih kecil minta kepada Tuhan supaya usahanya menjadi besar. Setelah terkabul, dia asyik dengan jualannya, tidak pergi ke Gereja. Orang ini sama dengan ‘Mensyukuri pemberiannya, melupakan pemberiNya’.

Manusia sebagai ciptaan Tuhan, semestinya selalu bersyukur terus menerus. Bukan hanya pada saat menerima hal-hal yang besar, seperti usahanya berbisnis menjadi besar, kelulusan, promosi jabatan, memiliki rumah baru, dll. Ada banyak hal yang kita terima dari Tuhan, yang mungkin tidak kita sadari, seolah-olah itu sesuatu yang memang harus terjadi demikian (take it for granted). Sebagai contoh nafas kita. Setiap hari kita menghirup nafas secara cuma-cuma. Coba bayangkan kalau Tuhan menghentikan nafas kita beberapa menit saja, kita akan mati. Orang bisa atau boleh memiliki apa saja, tetapi tidak mempunyai nafas apa yang terjadi? MATI. Lalu apa artinya barang atau kekayaan yang kita miliki?.

Mengenai masalah nafas, saya mempunyai pengalaman kesulitan bernafas. Peristiwa ini terjadi pada saat saya masih aktif mengajar. Suatu hari pada saat saya sedang mengajar di depan kelas, secara tiba-tiba tubuh saya lemas dan berkeringat dingin. Nafas saya pun mulai pendek dan tersengal-sengal. Saya kemudian minta tolong siswi yang duduk tepat di depan saya untuk memanggilkan teman guru dan membawa saya ke RS. Brayat Minulyo. Saya dibawa ke rumah sakit ditemani 3 (tiga) orang teman saya. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, nafas saya semakin tersengal-sengal. Begitu sampai rumah sakit, nafas rasanya seperti mau berhenti. Saya dalam keadaan seperti itu berkata: Tuhan… Tuhan… Tuhan. Saya langsung di bawa ke IGD. Saya langsung ditangani oleh seorang dokter dibantu 2 (dua) perawat. Dokter meminta supaya saya diam tidak berkata apa-apa, kemudian dokter meletakkan sebuah pil di bawah lidah. Setelah itu nafas saya berangsur-angsur pulih kembali dan tubuh saya mulai hangat. Saya pun di pindah ke kamar. Saya tinggal di rumah sakit selama 5 (lima) hari.

Sejak saat itu, saya sungguh menyadari arti pentingnya nafas. Nafas adalah hidup kita. Nafas adalah anugerah Tuhan yang sangat besar. Maka kita semua wajib mensyukurinya. Jadi syukur kepada Tuhan hendaknya dihunjukkan dalam segala hal, sebagaimana dikatakan dalam 1 Tesalonika 5:18 – ‘Mengucap syukurlah dalam segala hal. Sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu’.

Ada sebuah ilustrasi yang sangat bagus mengenai syukur yang bisa kita simak. Ada 2 (dua) orang karyawan yang bekerja di sebuah pabrik. Keduanya bekerja sebagai operator mesin. Kedua karyawan ini, sama-sama pernah mengalami kecelakaan pada saat mengoperasikan mesin. Keduanya sama-sama mengalami kehilangan jari tangannya. Karyawan I, kehilangan 9 (sembilan) jari tangan. Karyawan II, kehilangan 1 (satu) jari tangan saja. Sikap mereka dalam menyikapi kehilangan jarinya berbeda. Karyawan I, menghaturkan syukur karena masih ada 1 (satu) jari. Karyawan II sebaliknya, mengeluh dan tidak bersyukur karena hanya 1 (satu) jarinya hilang. Karyawan I, masih bisa bersyukur karena masih memiliki jari meskipun hanya 1 (satu). Karyawan I ini melihat yang masih dimiliki bukan kehilangannya. Karyawan II, tidak bisa bersyukur karena melihat kehilangannya meskipun hanya 1 (satu) jari. Yang membedakan dari kedua karyawan ini adalah cara pandang. Karyawan I, memiliki cara pandang positif. Karyawan II, memiliki cara pandang negatif. Pertanyaannya, bagaimana dengan kita? Marilah syukur kita jadikan sebagai gaya hidup sebagai ‘WAY OF LIFE’.

 

Penulis: Ph. Ispriyanto.

Kontributor

Leave a Reply