Wartaindonews, Klaten – Banyaknya kasus hutang piutang perorangan (non bank), yang kebanyakan para pihak orang awam hukum. Seperti banyak terjadi dalam perkara-perkara Gugatan Perdata di Pengadilan.
Biasanya berawal dari adanya kerja sama dalam suatu usaha, dengan dibuat kesepakatan kerja sama, yang kebanyakan dilakukan secara dibawah tangan antar para pihak. Penyerahan uang dari Pemodal kepada Pengelola usaha, biasanya disertai dengan jaminan berupa sertipikat tanah, ada yang sertipikat atas nama si pengelola usaha atau saudaranya atau bahkan sertipikat tanah milik orang lain. Munculnya masalah, biasanya pihak penerima modal sebagai pengelola usaha ingkar janji (wanprestasi) terkait pembayaran bagi hasil kepada pihak Pemberi Modal.
Bagi orang awam hukum, perjanjian yang dibuat dibawah tangan, telah ditandatangani diatas meterai oleh para pihak dan telah di waarmerking oleh Notaris, mereka telah merasa aman. Oleh karena itu, perlu diketahui oleh masyarakat luas khususnya masyarakat yang awam hukum, bahwa di dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b UU Jabatan Notaris, menyebutkan Notaris berwenang membukukan surat dibawah tangan, dengan mendaftar dalam buku khusus yang disebut dengan Buku Pendaftaran Di Bawah Tangan (Waarmerking), artinya notaris hanya menerima pendaftaran atas akta yang sudah ditandatangani oleh para pihak. Jadi dalam hal ini notaris tidak bertanggung jawab terhadap isi perjanjian maupun terhadap keabsahan tanda tangan para pihak yang ada di dalam perjanjian tersebut. Jadi walaupun di waarmerking perjanjian tersebut jenisnya tetap perjanjian dibawah tangan.
Walaupun salah satu pihak (pengelola usaha) telah wanprestasi atas pembagian profit/hasil usaha, akan tetapi karena perikatan atas Jaminan Sertifikat tanah tidak pernah dilakukan dengan hak tanggungan, maka terhadap jaminan yang berupa tanah tersebut, pihak pemegang jaminan sertipikat tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya bisa memegang buku sertipikat tanah tersebut, tanpa guna. Hal tersebut karena, Penggugat sebagai masyarakat yang awam hukum tidak paham tentang hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, merasa sudah aman dengan memegang sertipikat tanah sebagai jaminan. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas jaminan sertipikat tanah, dengan APHT Kantor Pertanahan mengeluarkan Sertipikat Hak Tanggungan (SHT) yang berisi data-data dan keterangan-keterangan yang tercantum dalam APHT, hal ini yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
Bagi pemodal dan pemegang sertipikat tanah, banyak yang tidak memahami juga bahwa untuk tanah yang merupakan jaminan dari suatu hutang meskipun telah diperjanjikan sebelumnya, karena besaran jumlah hutang, tidak dibenarkan untuk dijadikan sebagai pembayaran dalam melakukan transaksi jual beli, sebagaimana tercantum dalam perjanjian perikatan jual beli, hal mana sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 2877 K/Pdt/1996, yang menyatakan : “Jual beli tanah yang berasal dari hubungan hutang piutang (kreditur sebagai pembeli karena debitur tidak mampu membayar hutangnya), maka jual beli tersebut batal demi hukum.”;
Sebagai pendana/kreditur, banyak jaminan tanah dilakukan perikatan perjanjian jual beli dan surat kuasa jual atas obyek jaminan tanah tersebut, maka bukan berarti Penggugat sebagai pendana bisa langsung melakukan eksekusi atas jaminan tanah tersebut. Kelemahan surat kuasa jual tersebut adalah apabila si pemberi kuasa mencabut kuasanya atau si pemberi kuasa meninggal dunia, maka kreditur pemilik dana sebagai penerima kuasa tidak bisa melakukan tindakan apapun terhadap jaminan seritifikat tanah tersebut. Demikian pula sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 2877 K/Pdt/1996, yang pada intinya menyatakan : “Apabila kreditur sebagai pembeli jaminan tanah karena debitur tidak mampu membayar hutangnya, maka jual beli tersebut batal demi hukum.”
Meskipun Pengelola usaha sebagai Tergugat telah memenuhi unsur-unsur wanprestasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1243 KUHPerdata, namun Penggugat tidak mempunyai harapan atas jaminan sertipikatnya tersebut untuk dapat digunakan sebagai sumber pembayaran kembali (second wayout) terhadap dana modal yang telah dikeluarkan oleh Pemilik modal (Penggugat) kepada pihak Pengelola usaha (Tergugat).
Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi pembelajaran atau tambahan wawasan bagi masyarakat yang awam hukum.
Penulis: Danny T.Susetyo, advokat bersama mahasiswa magang mandiri Nabila-FS.UIN Salatiga & Yudi Syahputra – FH.UNS.