Pakubuwana IV
Penerus tahta Kasunanan Surakarta selanjutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788-1820) adalah sosok raja yang benci terhadap penjajahan dan memiliki keberanian serta penuh cita-cita tinggi. Berbeda dengan Pakubuwana III yang agak patut terhadap VOC.
Pada November 1790 , terjadi insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, Mangkunegara I dan Hamengkubuwana I yang disebut dengan Peristiwa Pakepung. Pengepungan ini terjadi karena penyingkiran para pejabat negara yang tidak sepaham dengan Pakubuwana IV yang menganut paham kejawen.
Para pejabat istana yang disingkirkan Pakubuwono IV kemudian meminta bantuan VOC untuk menghadapi Pakubuwana IV. VOC akhirnya bersekutu dengan Mangkunegara I dan Hamengkubuwono I untuk menghadapi Pakubuwana IV. mereka mengepung bersama pada bulan November 1790.
Dari dalam sendiri terdapat para pejabat senior yang tersisih, ikut serta menekan Pakubuwana IV agar para penasehat rohaninya disingkirkan dan pristiwa ini disebut Pristiwa Pakepung. Tanggal 26 November 1790 akhirnya Pakubuwana IV mengaku kalah dengan menyerahkan para penasehatnya yaitu pata haji, untuk dibuang VOC.
Terjadi perundingan bersama pada era pemerintahan Pakubuwana IV, di dalamnya menerangkan bahwa Kesultanan Yogyakarta, Kesunanan Surakarta, setra Praja Mangkunegara meniliki kedaulatan dan kedudukan yang setara sehingga tidak boleh saling menyerang satu sama lain.
Pakubuwana V
Sri Susuhan Pakubuwana V adalah pengganti dari Sri Susuhan Pakubuwana IV. Pakubuwana V oleh masyarakat pada saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi karena Pakubuwana V termasuk baginda yang sangat kaya, kaya harta maupun kaya kesaktian. Pengganti Pakubuwana V setelah wafat adalah Sri Susuhan Pakubuwana VI.
Pakubuwana VI
Pakubuwana VI adalah salah satu pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang sejak tahun 1825 memberontak terhadap pemerintahan Hindia Belanda (VOC) dan Kesultanan Yogyakarta. Penulis naskah-naskah Babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia antara Pangeran Diponegoro dengan Pakubuwana VI menggunakan simbol-simbol sebagai bahasanya.
Misalnya, dikisahkan Pakubuwana VI pergi untuk bertapa di Hutan krendawahana atau ke Gunung Merbabu. Padahal sebenarnya secara diam-diam ia pergi menemui Pangeran Diponegoro. Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda dalam perang melawan Pangeran Diponegoro.
Disamping memberikan dukungan dan bantuan, ia juaga mengirim pasukan untuk berpura-pura membantu pihak Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku bahwa semasa mudanya ia pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.
Setelah Belanda menangkap Pangeran Diponegoro, tetap saja Belanda menangkap Pakubuwana VI pada tanggal 8 Juni 1830 dan membuangnya ke ke Ambon, dengan alasan bahwa rahasianya sudah terbongkar semua, atas adanya pengakuan dari Mas Pajangswara dan kini ia hidup nyaman di Batavia.
Fitnah yang dimuluskan oleh pihak Belanda ini, kelak berdampak buruk hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Ranggawarsita (putra Mas Pajangswara) dengan Pakubuwana IX. Ketika Pakubuwana berangkat ke Ambon, Pakubuwana IX sebdiri masih berada dalam kandungan.
Kemudian tahta Surakarta jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII.
Pakubuwana VII
Perang Diponegoro saat itu baru saja berakhir. Apabila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai. Keadaan yang damai itu, di lingkungan keraton menjadikan dorongan tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran.
Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncaknya kejayaan sastra di wilayah kasunanan Surakarta yang dipelopori oleh pujangga besar Ranggawarsita. Setelah Pakubuwaana VII wafat dan tidak memiliki putra mahkota, maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) menjadi menjadi Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yang menjadi Kesunanan pada usianya 69 tahun.
Sumber – Ibnu Asmara
Comment