by

Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-nilai Kebangsaan Indonesia di Era Post Truth

-Artikel-2,849 views

Wartaindonews — Sejatinya kemerdekaan Indonesia diperoleh atas berkat rahmat Tuhan dan didorong keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Nilai-nilai kebangsaan Indonesia tersebut dalam era post truth sekarang ini mendapat tafsir lain, tafsir ideologis strukturalis berbasis kepentingan sektarian, bukan bersumber pada filsafat dasar Pancasila yang menjadi jiwa bangsa.

Roh keindonesiaan mestinya tetaplah satu yakni Pancasila, bukan agama, bukan ideologi partai, bukan pula kepentingan penumpukan modal. Pancasila adalah satusatunya roh yang harus hidup di ruang keindonesiaan, yang harus hidup dalam hati sanubari setiap warga negara Republik Indonesia. Bagaimana memperjuangkannya agar ia tetap menjadi inspirasi tunggal bagi roh keindonesiaan? Dari mana kita akan memulainya? Gagasan ini saya ajukan memantik acara Dialog Kebangsaan bertajuk “Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-nilai Kebangsaan Indonesia di Era Post Truth” yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) DPD DKI Jabodetabek bekerjasama dengan Forum Hubungan Antar Agama dan Kemasyarakatan (HAAK) Dekenat Jakarta Selatan tanggal 10 Agustus 2019 yang lalu bertempat di Aula Gedung Leo Dehon, Gereja Santo Stefanus, Cilandak Jakarta Selatan. Dialog ini menampilkan narasumber Sekretaris Jendral PBNU (2015-2020) Dr. (HC) Ir. H.A. Helmy Faisal Zaini, Romo Letkol. Yos Bintoro, Pr (Wakil Uskup di TNI & Polri), Prof. Dr. Asvi Warman Adam (Sejarawan LIPI) dan politisi Grace Natalie (Ketua Umum PSI), serta dimoderatori oleh Frisca Clarissa (Kompas TV). Dihadiri tak kurang dari 200 peserta dari berbagai kalangan dan komunitas.

Helmy Faisal salah satu tokoh kunci Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang kembali terpilih sebagai anggota DPR RI tahun 2019-2024 (sebelumnya tahun 2004-2009) mewakili dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) II ini menyatakan bahwa NKRI dan Pancasila itu harga mati, Pancasila dan Islam itu tidaklah bertentangan. Indonesia yang berPancasila itu sungguh-sungguh islami. Namun demikian, “Ada kelompok yang mengatakan bahwa Pancasila itu thogut (kafir). Padahal Pancasila dan Islam itu tidak saling bertentangan, karena Pancasila itu meneruskan nilai-nilai Islami”, katanya. Pasal-pasal Pancasila ada dalam ajaran Islam. Pancasila meneruskan apa yang menjadi identitas Islam. Jika ada seseorang yang mengaku ulama tetapi pada saat yang sama menyebarkan kebencian, ketakutan/teror (dan penolakan terhadap Pancasila), maka dia itu bukanlah seorang ulama. Oleh karena itu patut disyukuri Presiden Joko Widodo telah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Mantan Menteri Percepatan Daerah Tertinggal (PDT) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II (2009-2014) ini mengutip tesis benturan peradaban (clash of civilizations) dari Samuel P. Huntington, bahwa politik identitas bernuansa agama dan suku yang menjadi sumber konflik berpotensi membawa perpecahan (seperti di Timur Tengah) sudah terjadi. Di Indonesia ada beberapa kelompok yang menginginkan penggantian sistem pemerintahan dan berhasil memprovokasi dengan jaringan bawah tanah. Untuk itu Helmy menekankan perlunya membangun keislaman di Indonesia sebagai sohibul rahmat. “Karena itu, mari kita semua membangun Indonesia dan keagamaan dalam satu tarikan nafas. NU sejak awal berkomitmen pada NKRI. Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin menunjukkan perjuangan untuk menegakkan negara ini sebagai negara darussalam, negara yang damai. Jadi mari kita mensyukuri bahwa NKRI merupakan bentuk final dalam berkebangsaan dan bernegara kita”, ujarnya. Secara berseloroh dikatakannya bahwa PBNU merupakan kepanjangan dari Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945. Karena itu PBNU adalah pembela NKRI, karena memang difatwakan oleh para ulama NU di awal berdirinya republik ini.

Keragaman itu indah, merupakan kekayaan dan rahmat yang patut disyukuri, dan segala perbedaan harus diselesaikan dengan kepala dingin dan tetap menjaga kedamaian. Ada tiga bentuk ukhuwah (persaudaraan) yang dianjurkan oleh para ulama NU, yakni yang pertama ukhuwah islamiah, persaudaraan antara sesama umat Islam. Kedua ukhuwah watoniah, persaudaraan antar sesama warga bangsa, dan yang ketiga ukhuwah insaniah, yaitu persaudaraan antara sesama umat manusia. Nilai-nilai ukhuwah ini menjadi perekat kehidupan beragama dan berbangsa.

Kontributor

Comment

Leave a Reply