Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-nilai Kebangsaan Indonesia di Era Post Truth

Artikel3,096 views

Bagi Grace Natalie yang berada di episentrum politik dalam pemilu kemarin cukup membingungkan, rumus apa yang paling tepat untuk melawan hoax. Dari pengalaman pemilu kemarin, mereka yang terdidik pun bingung mana yang benar. Hoax dipakai sebagai alat kontestasi politik, dan komoditas yang gampang dijual adalah jualan agama, memainkan emosi dan kebencian. Sangat gencar isu anti Asing (Kristen), anti Aseng (Cina) dan anti PKI. Oleh karena itu, Grace sepakat dengan Asvi perlunya mempelajari fakta sejarah dan membaca berita untuk menjaga rasionalitas dan obyektivitas.

Grace menekankan pentingnya melek politik supaya tidak gampang dibodohi oleh para politisi yang ingin meraup suara dan kekuasaan semata. Kepedulian dan keterlibatan dalam kehidupan politik menjadikan masyarakat tidak menyerahkan dirinya sematamata diatur oleh para politisi, tapi ikut mengawasi mereka. Warga tidak hanya diam,
abai dan alergi terhadap politik supaya mengerti konteksnya dan dapat merespon hoax dengan bijak dan benar. Hoax berkembang dengan dukungan teknologi informasi dan mendapat tempat dalam keriuhan media sosial.

Pada era kedatangan NICA Hindia Belanda tahun 1947 ada satuan pengamanan Po An Tui (Badan Pelindung Keamanan Tionghoa) yang dibentuk karena dipicu oleh kekacauan di awal republik berdiri. Ketika itu, banyak etnis Tionghoa jadi korban ekses dari aksi militer Belanda. Kemudian muncul pemikiran dari sejumlah tokoh Tionghoa di Jakarta untuk mencari cara agar etnis Tionghoa tidak terus menjadi korban. Dalam perkembangannya Po An Tui memang digunakan oleh NICA untuk memeriksa para gerilyawan Indonesia. Tentu saja ada kekerasan yang terjadi, tapi tidak benar bahwa Po An Tui itu sudah membunuh ribuan orang. Disinformasi menurut Asvi terjadi, dan
menjadi propaganda menyesatkan karena laskar Cina yang monumennya diresmikan Menteri Tjahjo Kumolo di museum Taman Mini Indonesia Indah (TMII) adalah Po An Tui, tulis Postmetro.info (22 Februari 2016).

Dalam catatan saya, situs ini memuat berita berjudul,” Hanya di Era Jokowi, Milisi Cina “Po An Tui” Pembantai Pribumi Dibuatkan Monumen di TMII.” Menurut berita yang ditulis Posmetro.info tujuan didirikannya monumen Po An Tui adalah untuk  mengingatkan siapa leluhur kita dan perjuangan laskar China dalam melawan penjajah
VOC Belanda pada tahun 1740 – 1743. Padahal kongsi dagang VOC yang didirikan pada 20 Maret 1602 kemudian bangkrut dan ditutup 31 Desember 1799. Monumen yang diresmikan Menteri Tjahjo jelas merujuk pada laskar kaum Tionghoa yang dibentuk antara rentang tahun 1740-1743 di era VOC bercokol, bukan di masa NICA menjajah. Geger Pecinan adalah kisah peperangan selama tiga tahun di Jawa pada periode 1740-1743, yang meletus setelah kaum Tionghoa dibantai di Batavia pada tahun 1740. Setelah pembantaian itu, orang-orang Tionghoa berkolaborasi dengan orangorang Jawa. Mereka berkongsi membentuk laskar melawan VOC. Lalu terjadilah perang tiga tahun, yang melibatkan orang-orang Tionghoa yang berkolaborasi dengan kaum bangsawan Jawa yang berpusat di keraton Kartasura.

Berbicara tentang nilai-nilai kebangsaan tidak bisa dilepaskan dari sejarah. Dengan mengetahui sejarah, kita tahu posisi kita menjadi bagian apa dari bangsa ini. Memperjuangkan, merebut, mempertahankan, serta mengisi kemerdekaan adalah tugas bersama. Kemerdekaan bukan klaim sekelompok orang dan golongan, dan diperjuangkan sejak abad 20 oleh berbagai tokoh dari berbagai latar belakang agama dan suku. Karena itu, rasa kebangsaan itu dalam pandangan Asvi tidak bertentangan dengan keagamaan. Dalam memori kolektif bangsa, “Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 melibatkan pemuda lintas suku, rapat pertama di gedung perkumpulan Katolik, rapat kedua di asrama milik Tionghoa,” ujarnya.

Kontributor

Leave a Reply