Helmy yang mengaku neneknya masih keturunan Tionghoa itu mengatakan, bahwa polarisasi yang muncul tidak terlepas ke cara berfikir yg belum selesai. Gerakan yang ingin mengganti bentuk negara itu karena tidak paham pola hubungan negara dan agama. Mengutip Gus Dur ada tiga paradigma hubungan agama dan negara; yaitu universalistik (menjadi satu kesatuan seperti di Arab Saudi), sekuralistik (hubungan agama dan negara secara tegas dipisah seperti Turki), dan simbiotik (agama dan negara itu harmoni saling mengisi), dan Indonesia adalah contoh hubungan simbiotik yg paling baik. Hubungan Islam dan Indonesia baik-baik saja. Di lingkungan dunia internasional, kita bersyukur saat ini Indonesia dipandang sebagai satu-satunya negara yang dapat menjaga keberagaman dan perbedaan sebagai rahmat dan keindahaan. Sikap NU tegas, bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia adalah berbentuk darus salam bukan darul islam. Dalam catatan saya, hal ini relevan dengan pendapat Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dr. H. Abdul Mu’ti (2017) bukan formalisasi syariat, tapi substansialisasi nilai. Rumusan Pancasila yang ada hari ini bukan main-main karena ditandatangani Kiai Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo. Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila adalah bentuk ideal bagi bangsa Indonesia, telah diputuskan oleh Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 2007.
Sementara itu, Romo Letkol. Yos Bintoro, Pr., rohaniwan dan tentara aktif yang menjadi Wakil Uskup di lingkungan TNI dan Polri, menekankan perlunya memiliki karakter, cinta tanah air. “Karakter itulah yang menjadi penentu sebuah bangsa”, dan kuncinya ada pada pendidikan (mental spiritual, budi pekerti). Pendidikan kita perlu menghidupkan karakter manusia. Orang Jepang takut anak umur 8 tahun belum bisa membereskan tempat tidur sendiri, belum bisa antri. Sementara orang tua di Indonesia lebih mengkhawatirkan anak-anak mereka belum bisa bahasa Inggris dan Kumon. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (jasmerah), cinta tanah air itu di kalangan Katolik adalah warisan leluhur seperti Monsinyur Soegijopranoto. Ketika tentara Jepang akan menjadikan Gereja Randusari sebagai markas tentara Jepang, Romo Kanjeng yang kemudian terkenal dengan semboyan “100% katolik, 100% patriot Indonesia” itu menjawab, “ Ini adalah tempat suci. Saya tidak akan memberi izin. Penggal dahulu
kepala saya, maka tuan baru boleh memakainya”.
Menurut Romo yang bertugas di Pusbintal TNI ini, harus makin banyak forum-forum dialog bersama pada ruang publik untuk memupuk kesadaran berkebangsaan. “Kuncinya adalah pendidikan dasar karakter”, ujarnya. TNI sebagai tentara rakyat dan garda terdepan bangsa tetap beridentitas dan berjiwa korsa nasionalisme Indonesia,
menjaga konstitusi, berkomitmen menjaga negara kesatuan dan kebangsaan Indonesia. Seperti pernah disampaikan Prof. Asvi Warman Adam (2005), “Selalu ada ekstrem kanan maupun kiri. Semua bahaya. Dan satu-satunya yang menyelamatkan bangsa ini adalah tentara”.
Di dunia internasional, Indonesia dipandang sebagai negara besar yang mampu menjaga pluralisme. Situasi sekarang yang penuh perubahan (disruption) sebaiknya disikapi sebagai kesempatan untuk mencari dan menemukan apa yang bisa kita lakukan bagi bangsa ini, tanpa perlu menyalahkan orang lain. Teknologi informasi dan komunikasi memang hadir sebagai media disruptif, dan dalam catatan saya menjadi pengubah permainan karena membawa budaya baru yang serba instan. Era disrupsi ini membawa perubahan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Ekses era disrupsi telah menciptakan dislokasi intelektual dan kultural, serta mendorong eksklusi dan penguatan identitas kelompok.
Dalam era post truth yang anak kandungnya adalah hoax, fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal, tiap-tiap orang mengklaim dirinya benar dan orang lain salah, mereka mengonstruksi kebenaran menurut tafsir versinya sendiri, bukan faktanya. Kepercayaan/keyakinan lebih penting daripada obyektivitas. Merunut sejarah di Indonesia hoax bukan baru kemarin pada saat pemilu munculnya, tetapi sebenarnya sudah secara masif digunakan sejak tahun 1965 saat penggulingan rezim Orde Lama, papar Asvi Warman Adam, profesor riset bidang sejarah politik. Fakta dimanipulasi dan sejarah dibelokkan. Tidak
ada jalan lain, hoax harus dilawan, dibantah bahwa itu tidak benar. “Sejarah yang selama ini dipergunakan sebagai alat penindas perlu diubah menjadi medium pembebasan”, ujarnya pada kesempatan wawancara dengan Kompas tahun 2005.