Pertemuan Abu Dhabi antara Imam Agung Al-Azhar, Ahmed At-Tayyeb dengan Paus
Fransiskus setahun lalu mengingatkan dunia kembali akan pertemuan bersejarah di
tepi sungai Nil sekitar delapan ratus tahun yang lalu ketika situasi dunia sedang
dilanda perang atas nama agama. Paus Fransiskus mengambil inisiatif untuk
mengadakan kunjungan itu sebagai peringatan 800 tahun perjumpaan Fransiskus
Assisi dengan Sultan Mesir, Malik al-Kamil. Semangat perdamaian Fransiskus Asisi
pada 800 tahun yang lampau itu dihidupkan dan disegarkan kembali oleh Paus
Fransiskus, dengan melakukan kunjungan apostoliknya ke Abu Dhabi, Uni Emirat
Arab pada 3-5 Februari 2019.
Berangkat dari solidaritasnya dengan penderitaan dan keprihatinan akan krisis dunia
modern yang diyakini penyebab utama adalah ketidakpekaan hati nurani manusia,
penjauhan dari nilai-nilai agama, sikap individualistis dan materialistis, Paus
Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar menyerukan kepada pemimpin dan tokoh
dunia untuk menemukan kembali nilai-nilai perdamaian, keadilan, kebaikan dan
keindahan, persaudaraan manusia dan hidup berdampingan sebagai jangkar
keselamatan.
Dokumen tentang Persaudaraan Manusia ini buah perjumpaan dan dialog iman
penuh persaudaraan kedua pemimpin Vatikan dan Al-Azhar, yang telah dipikirkan
secara jujur dan serius sehingga menjadi pernyataan bersama tentang cita-cita yang
baik dan tulus. Melalui iman akan Allah, semua umat beriman dipanggil untuk
melindungi seluruh ciptaan dan alam semesta, serta mendukung semua orang,
terutama yang paling miskin dan membutuhkan.
Dokumen ini diharapkan berfungsi sebagai panduan bagi generasi mendatang untuk
memajukan budaya dialog, kerjasama timbal balik yang saling menghormati dan
saling pengertian dalam kesadaran akan rahmat ilahi yang agung, yang menjadikan
semua manusia sebagai saudara dan saudari.
Bagian penting dokumen Abu Dhabi (Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian
Dunia dan Hidup Bersama) mendorong semua pihak untuk “menahan diri
menggunakan nama Tuhan untuk membenarkan tindakan pembunuhan,
pengasingan, terorisme dan penindasan. Kami meminta ini berdasarkan kepercayaan
kami bersama pada Tuhan, yang tidak menciptakan manusia untuk dibunuh atau
berperang satu sama lain, tidak untuk disiksa atau dihina dalam kehidupan dan
keadaan mereka. Tuhan, Yang Maha Besar, tidak perlu dibela oleh siapa pun dan
tidak ingin nama-Nya digunakan untuk meneror orang.”
Dokumen itu dengan tegas menyatakan agama tidak boleh digunakan untuk
menghasut terjadinya perang, kebencian, permusuhan dan ekstremisme, juga untuk
memicu aksi kekerasan atau pertumpahan darah. Dokumen yang diklaim
mengatasnamakan seluruh korban perang, persekusi dan ketidakadilan di dunia itu,
menyatakan komitmen Al Azhar dan Vatikan untuk bekerjasama memerangi ekstremisme, perjuangan bersama untuk mewujudkan dunia yang damai dan
humanis di tengah krisis nilai-nilai kemanusiaan saat ini.
Deklarasi tersebut berupaya mendorong untuk hubungan yang lebih kuat antaraumat
manusia dan mempromosikan kepada hidup berdampingan antara umat beragama
untuk melawan ekstremisme dan dampak negatifnya, merupakan substansi
perjumpaan kedua pemimpin agama dunia itu.
Dalam sejarah, agama memang sama sekali tidak dapat steril dari berbagai hasrat dan
kepentingan manusiawi, sehingga pada titik tertentu kerap ditunggangi dan diseret
ke wilayah yang cukup politis, menjadikannya semacam legitimasi sikap politis dari
kepentingan suatu kelompok.
K.H. Abdurrahman Wahid pada tahun 1996 mengeluarkan serangkaian tulisan, yang
kemudian dikompilasi menjadi buku ‘’Tuhan Tidak Perlu Dibela.’’ 22 tahun
kemudian, pernyataan itu menjadi salah satu bagian penting deklarasi Abu Dhabi.
Pesan damai dari Abu Dhabi menjadi oase moral dan mercusuar penunjuk arah di
tengah ambruknya etika hidup bersama. Krisis moralitas telah membawa orang
melarikan diri dan terperangkap dalam ‘sebuah ekstremisme ateis, agnostik, atau
religius yang pada gilirannya menghantarnya menuju fanatisme buta’. Krisis politik
global, ketidakadilan, dan ketimpangan dalam distribusi sumber daya alam
merupakan sebab utama masalah kemiskinan global, penderitaan, dan kematian.
Kedua pemimpin agama ini mengingatkan bahwa Allah Pencipta telah
menghadiahkan umat manusia anugerah kehidupan yang harus dilindungi. Tak
seorang pun diberi hak untuk membunuh, mengancam, atau memanipulasi
kehidupan sekehendak hatinya. Karena itu, segala praktik yang mengancam
kehidupan seperti genosida, teror, pengusiran massal, perdagangan manusia, aborsi,
dan eutanasia harus dikutuk.
Deklarasi Abu Dhabi juga menyerukan untuk menghapuskan penggunaan istilah
minoritas yang disebut hanya akan melahirkan perasaan terisolasi dan rendah diri.
Juga menyerukan untuk hubungan baik antara Timur dan Barat yang tidak dapat
disangkal, diperlukan untuk kedua pihak.
Dokumen tersebut juga menyerukan perlindungan terhadap hak perempuan, anakanak, serta orang tua, kaum difabel, dan tertindas. Perempuan harus dilindungi dari
praktik manipulasi dan kekerasan yang melecehkan martabatnya.
Dokumen Abu Dhabi tidak hanya berbicara tentang landasan baru dialog antara
Islam dan kekristenan, tetapi juga dialog peradaban untuk perdamaian global,
mengangkat poin-poin penting demi terwujudnya perdamaian antarnegara, agama,
dan ras.
Menurut Mgr Christophorus Tri Harsono, ada 5 (lima) poin dialog dalam forum
Pertemuan Persaudaraan Manusia tersebut adalah:
1. Deklarasi ini merupakan undangan untuk berekonsiliasi dan bersaudara antara
semua orang beriman yang berkehendak baik.
2. Kepada setiap insan yang berhati nurani, beragama, dan beriman untuk menolak
kekerasan, ekstremisme buta, dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi sejati dan
persaudaraan.
3. Teladan kebesaran dan kebenaran iman akan Allah yang mempersatukan hati yang
terpecah dan mengangkat harkat-martabat jiwa manusia, sebagai ciptaan utama.
4. Tanda dan bukti kedekatan antara Timur dan Barat, Utara dan Selatan, bahwa
orang beriman percaya bahwa Allah telah menciptakan dan menghendaki saling
cinta, saling bersaudara, saling mengerti, bekerja sama, dan saling berbeda.
5. Perdamaian Universal dapat dinikmati semua makhluk dari waktu ke waktu dan
masa depan.
Terdapat setidaknya 12 poin penting dari Dokumen Abu Dhabi sebagaimana
disarikan oleh Amadea Prajna, SJ :
1. Keyakinan bahwa ajaran asli agama-agama mendorong manusia untuk hidup
bersama dengan damai, menghargai kemanusiaan, dan menghidupkan
kembali kebijaksanaan, keadilan, dan cinta kasih.
2. Kebebasan adalah hak setiap orang. Pluralisme dan keberagaman agama
adalah kehendak dan karunia Allah.
3. Keadilan yang berlandaskan kasih adalah jalan untuk hidup yang bermartabat.
4. Budaya toleransi, penerimaan terhadap kelompok lain, dan kehidupan
bersama dengan damai akan membantu mengatasi pelbagai masalah ekonomi,
sosial, politik dan lingkungan.
5. Dialog antar agama berarti bersama-sama mencari keutamaan moral tertinggi
dan menghindari perdebatan tiada arti.
6. Perlindungan terhadap tempat ibadah adalah tugas yang diemban oleh agama,
nilai kemanusiaan, hukum, dan perjanjian internasional. Setiap serangan
terhadap tempat ibadah adalah pelanggaran terhadap ajaran agama dan
hukum internasional.
7. Terorisme adalah tindakan tercela dan mengancam kemanusiaan. Terorisme
bukan diakibatkan oleh agama, melainkan kesalahan interpretasi terhadap
ajaran agama dan kebijakan yang mengakibatkan kelaparan, kemiskinan,
ketidakadilan, dan penindasan. Stop dukungan pada terorisme secara
finansial, penjualan senjata, dan justifikasi. Terorisme adalah tindakan
terkutuk.
8. Kewarganegaraan adalah wujud kesamaan hak dan kewajiban. Penggunaan
kata “minoritas” harus ditolak karena bersifat diskriminatif, menimbulkan rasa
terisolasi dan inferior bagi kelompok tertentu.
9. Hubungan baik antara negara-negara Barat dan Timur harus dipertahankan.
Dunia Barat dapat menemukan obat atas kekeringan spiritual akibat
materialisme dari dunia Timur. Sebaliknya, dunia Timur dapat menemukan
bantuan untuk bebas dari kelemahan, konflik, kemunduran pengetahuan,
teknik, dan kebudayaan dari dunia Barat.
10. Hak kaum wanita untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan berpolitik
harus diakui. Segala bentuk eksploitasi seksual dengan alasan apapun harus
dihentikan.
11. Hak-hak mendasar bagi anak-anak untuk tumbuh dalam lingkungan keluarga
yang baik, mendapat gizi yang memadai, pendidikan, dan dukungan adalah
kewajiban bagi keluarga dan masyarakat. Semua bentuk pelecehan pada
martabat dan hak anak-anak harus dilawan dan dihentikan.
12. Perlindungan terhadap hak orang lanjut usia, mereka yang lemah, penyandang
disabilitas, dan mereka yang tertindas adalah kewajiban agama dan sosial,
maka harus dijamin dan dibela.
Relevansi untuk Indonesia
Sebagai salah satu negara dengan penduduk mayoritas Muslim, Indonesia dipandang
sebagai salah satu kiblat dunia, bagaimana menumbuhkembangkan semangat
toleransi dalam keberagaman agama, suku, ras, dan golongan. Bukan berarti bahwa
kita telah selesai dengan masalah ini. Tidak. Situasi belakangan ini malah agak
memburuk dalam hal intolerasi dan radikalisme.
Pesan damai dari Abu Dhabi memancarkan nilai-nilai kemanusiaan universal yang
lahir dari rahim iman dan religiositas yang mendalam. Seharusnya menjadi model
bagi para pemimpin agama di Indonesia ketika mengusung agama untuk bersuara di
ruang publik.
Hal yang sangat fundamental adalah persaudaraan insani, yaitu kesadaran bahwa
setiap manusia adalah saudara bagi yang lain, yang melampaui sekat-sekat agama,
budaya, dan ideologi.
Ini menghendaki perubahan pemahaman tentang toleransi sebagai hadiah mayoritas
untuk minoritas, menuju konsep toleransi autentik yang menekankan hak setiap
individu untuk berbeda. Imbauan ini relevan untuk Indonesia.
Di tengah maraknya praktik intoleransi dan ujaran kebencian atas nama agama, peran
publik agama haruslah menyejukkan, menebar kasih, dan merekatkan kohesi sosial.
Dengan demikian, agama tak akan pernah kehilangan relevansinya, juga bagi
masyarakat paling sekuler sekalipun.
Agama tidak pernah boleh menjadi alasan permusuhan, kebencian, dan ekstremisme.
Agama tak pernah boleh menghalalkan kekerasan dan pertumpahan darah.
Sebaliknya, kekerasan atas nama agama merupakan penyimpangan dari ajaran
agama yang sesungguhnya, akibat dari politisasi agama dan interpretasi yang keliru.
Karena itu, semua pemeluk agama diimbau untuk tidak memakai agama guna
menyebarkan kebencian, kekerasan, ekstremisme, dan fanatisme buta.
Perlindungan terhadap tempat-tempat ibadah merupakan kewajiban yang dijamin
agama-agama, nilai-nilai moral kemanusiaan, hukum, dan perjanjian internasional.
Setiap usaha menghancurkan rumah ibadah, ancaman teror, serta kekerasan lainnya
bertentangan ajaran agama dan hukum internasional.
Akar dari krisis masyarakat modern umumnya dan masyarakat Indonesia khususnya
ialah nurani yang apatis terhadap penderitaan sesama. Bencana kemanusiaan dan
penderitaan korban tersebut harus menjadi landasan etis bagi agama-agama di
Indonesia untuk bergerak bersama. Penderitaan korban harus menjadi lokus
perjumpaan dan dialog antara agama.
Seruan bagi para pemimpin nasional, baik pemimpin agama, politik, maupun
ekonomi untuk terus mewartakan budaya toleransi, hidup bersama dalam
kebhinekaan dan perdamaian. Pertikaian dan konflik berdarah harus segera
dihentikan. Demikian pun proses penghancuran ekologis, krisis moralitas dan
budaya manusia harus menemukan titik akhir.
(Ruddy Nararyo Saroyo, anggota Komisi Hubungan Antar Agama & Kemasyarakatan, Keuskupan Agung Jakarta)
Comment