Berbicara mengenai KOINONIA (Persekutuan) adalah berbicara mengenai tugas. Jadi mestinya setiap umat terlibat dalam persekutuan, bukan kalau pas mau, minat, berselera atau mood saja. Kesadaran akan pentingnya bersekutu dengan umat harus tertanam pada setiap umat dimanapun. Tentu bersekutu tidak bisa selalu diikuti terus menerus atau setiap kali. Ada kalanya orang ada halangan seperti: sakit, jagong, ke dokter, ada tugas yang harus diselesaikan. Dalam hal seperti itu, tidak datang ke persekutuan tentu tidak apa-apa.
Melalui sakramen permandian atau baptis, seseorang secara sah dan resmi diterima sebagai anggota Gereja. Secara otomatis orang yang sudah dibaptis masuk menjadi warga paroki, wilayah, lingkungan dimana dia tinggal atau berdomisili. Maka segala kegiatan gerejawinya ya di lingkup paroki, wilayah atau lingkungannya bukan di tempat lain. Begitulah idealnya menjadi warga paroki. Tetapi atas dasar pertimbangan tertentu, ada umat yang domisili paroki ‘A’ tetapi ikut segala kegiatan di paroki ‘B’.
Sebagai orang yang sudah dibaptis, setiap orang mengemban tugas. Ada dua macam tugas yang menjadi tanggungjawab bagi setiap orang katolik. Pertama adalah ‘TRITUGAS KRISTUS’, yaitu ‘IMAM’, ‘NABI’ dan ‘RAJA’. Kedua adalah ‘PANCA TUGAS GEREJA’, yaitu LITURGIA (Liturgi), KERIGMA (Pewartaan), DIAKONIA (Pelayanan), KOINONIA (Persekutuan), dan MARTIRIA (Kesaksian). Diantara tugas-tugas tersebut pada kesempatan ini akan dibicarakan satu tugas saja yaitu KOINONIA (Persekutuan). Apakah umat sudah bersekutu dengan baik mulai dari tingkat lingkungan, wilayah sampai paroki?
KOINONIA (Persekutuan) itu penting dan perlu. Melalui persekutuan, umat bisa melakukan banyak hal atau kegiatan. Mulai kegiatan reguler seperti: doa Rosario pada bulan Mei, APP, BKSN, doa Rosario pada bulan Oktober, Adven, dll. Melalui kegiatan itu, umat juga menjadi semakin akrab satu sama lain. Umat juga saling berbagi pengalaman baik pengalaman suka maupun duka, yang bisa memperkaya pengalaman hidup. Banyak sisi positif yang bisa umat petik dari persekutuan. Melalui bersekutu dengan umat seiman, orang juga mendapatkan peneguhan dari sesama umat, merasa memiliki banyak saudara. Pada saat umat tidak bersekutu, umat hidup sendiri dengan kesibukan masing-masing. Pada saat hidup sendiri itu, ibarat arang yang dipakai untuk membakar sate tetapi dalam kondisi mati. Pada saat umat bersekutu, umat berkumpul, arang-arang ditempatkan di atas anglo kemudian di bakar. Apa yang terjadi? Arang menyala dalam kesatuan. Setelah sate matang, arang pun mati lagi karena tidak dikipasi lagi bahkan diturunkan dan terpisah lagi. Dalam persekutuan, umat mendapatkan asupan semangat.
Sayang, hampir di setiap lingkungan selalu ada umat yang tidak bersedia membaur dalam kegiatan lingkungan. Dan ketidakterlibatan ini bisa merepotkan dirinya sendiri bila nanti harus berurusan dengan kebutuhan pribadi yang mau tidak mau harus diurus lewat atau oleh lingkungan. Ada beberapa contoh pengalaman konkret yang terjadi di lingkungan-lingkungan.
Pernah terjadi di suatu lingkungan, ada umat atau warga baru. Sebagai warga baru di lingkungan baru, mestinya melaporkan diri kepada ketua lingkungan istilahnya ‘kula nuwun’. Dengan melapor kepada ketua lingkungan, dia akan dicatat sebagai warga lingkungan. Lalu segenap pengurus lingkungan, bahkan seluruh umat bisa mengajak umat baru ini untuk terlibat dalam kegiatan lingkungan. Dengan demikian umat baru tidak akan merasa hidup sendiri dan sepi. Namun, apa yang terjadi dengan umat baru ini? Dia tidak melaporkan diri kepada ketua lingkungan sejak dia datang. Nah, pada tahun kedua dia tinggal di lingkungan baru itu, ada salah satu anggota keluarganya yang meninggal. Baru dia mencari ketua lingkungan dengan bertanya ke tetangga yang satu gang dengan dia. Dia pertama bertanya apakah di gang itu ada orang katolik? Setelah bertemu orang katolik, dia bertanya siapa dan dimana ketua lingkungan tinggal? Akhirnya, siapa ketua lingkungan dan dimana rumahnya ditemukan. Kemudian umat baru ini menghadap ketua lingkungan. Pada saat dia melapor bahwa salah satu anggota keluarganya ada yang meninggal, ketua lingkungan terheran-heran, ini siapa? Ketua lingkungan sempat bertanya: ‘Anda itu siapa, tinggal dimana?’. Baru ketahuan bahwa umat baru ini tinggal di lingkungan sudah dua tahun, namun tidak pernah melaporkan diri kepada ketua lingkungan. Ini salah satu contoh dampak ketidakmauan umat hidup bersekutu dengan sesama umat beriman lainnya di lingkungan. Tentu umat lingkungan tidak lalu tidak mau menghadiri pemakaman serta doa-doa peringatan arwah. Umat dengan berlandaskan kasih melayani umat yang kerepotan ini.
Contoh lain dampak tidak mau bersekutu dengan umat seiman di lingkungan dialami oleh seorang cewek sebut saja namanya ‘Pandan’ (bukan nama sebenarnya). Pandan sebagai warga lingkungan yang baru menempati sebuah rumah sendirian. Pandan menempati rumah kakaknya yang kosong karena kakaknya bekerja di kota lain. Sementara Pandan sendiri bekerja pada sebuah instansi di kota ‘S’. Sebagai umat baru, Pandan pernah menghadiri pertemuan umat. Pada saat pertemuan itu, Pandan diberi kesempatan untuk memperkenalkan diri. Menanggapi perkenalan itu, ketua lingkungan memberi tanggapan. Salah satu tanggapannya adalah ajakan untuk terlibat aktif mengikuti kegiatan lingkungan. Namun, ternyata Pandan hanya datang ke lingkungan pada waktu memperkenalkan diri saja, setelah itu hilang. Padahal maksud ajakan itu terkandung juga harapan bagi Pandan kalau ada sesuatu lingkungan bisa membantu. Nah, benar saja Pandan mengalami masalah berat. Pandan menggunakan uang kantor dalam jumlah yang banyak. Pandan tidak bisa melunasi uang itu. Pandan pasti akan berhadapan dengan hukum. Pandan ketakutan, tidak bisa melihat jalan keluar. Akhirnya Pandan ambil jalan pintas bunuh diri dengan minum baygon tiga botol sprite besar. Pandan memikul sendirian beban atau masalah yang dihadapinya. Itulah perlunya umat hidup bersekutu, bisa saling mendukung, memecahkan masalah bersama dan meneguhkan. Itulah perlunya BERKOINONIA.
Penulis: Ph. Ispriyanto
Comment