Wartaindo.news – Setelah perang baratayuda selesai di daerah di Kurusetra Hastinapura menjelma menjadi negara yang agung gemah ripah loh jinawi berwibawa toto tentren kerto raharja di bawah pimpinan Prabu Parikesit. Saat itulah Yudhistira merasa tugasnya telah selesai. Maka ia mengutarakan keinginannya untuk mencari kesejatian, kembali kepada *“Sangkan Paraning Dumadi” dengan mendaki Gunung Himawan/Mahameru
Keempat saudaranya, dan Drupadi, terkesiap. Mereka tak mau ditinggalkan di istana.
“Aku tak punya siapa-siapa lagi, Kakang…” isak Drupadi “Aku hanya punya dirimu dan Pandhawa…”.
Drupadi benar. Seluruh keluarganya terbunuh di Bharatayudha. Ayahnya, Drupada tewas di tangan Resi Dorna. Drestajumena, adiknya, yang disusupi roh dendam kesumat Ekalaya berhasil membunuh Dorna. Namun hanya dalam hitungan hari Asuatama menuntut balas membantai Drestajumena.
Bersimpuh di kaki suaminya, Drupadi meleleh mengenang nasibnya yang remuk. Teringat … Nun di balairung Hastinapura kemolekan tubuhnya nyaris terumbar oleh tangan mesum Dursasana ketika ksatria ini mempertaruhkan dirinya di meja dadu.
Yudhistira terdiam mendengar isak Drupadi, Namun keputusannya telah bulat. Ia harus pergi, tugasnya di dunia telah selesai.
Maka berangkatlah Pandhawa Lima dan Drupadi menuju pegunungan Mahameru. Tak lupa mereka membawa serta seekor anjing kesayangan yang putih kecil.
Perjalanan sangat berat. Medan dan cuaca yang ganas membuat Drupadi mulai mengeluh. Berkali-kali Yudhistira berusaha memapahnya agar terus berjalan. Tapi Drupadi tak kuasa lg dan tak sanggup meneruskan langkahnya kemudian terjatuh.
“Aku tak sanggup lagi, Kakang..” ia merintih.
Yudhistira memutar kembali ingatannya. Bertahun-tahun ia meredam perih tatkala mendapati bahwa selama ini sebenarnya Drupadi mencintai Arjuna. Bukan dirinya. Drupadi jualah yang membuat Adipati Karna mabuk kepayang hingga ajal menjemput diujung Pasopatinya Arjuna. Dan kini, “belahan jiwa” itu sekarat di lengannya ketika mereka baru mencapai kaki Gunung Himawan …
Berlima mereka meneruskan langkah di tengah cuaca yang kian mendera. Panas yang mengelupas kulit berubah dingin yang mendera tulang. Sadewa mulai limbung. Ia menguat-nguatkan dirinya agar mampu mengikuti langkah kakak-kakaknya.
“Kakang… tolonglah aku” keluh Sadewa. Ia mencoba merangkak tapi seluruh persendiannya seakan terlepas. Nafasnya tersengal-sengal dan tak sanggup meneruskan perjalanan. Sadewa tewas ketika perjalanan baru mencapai lereng gunung yang menjulang tinggi itu …
Kematian Sadewa ternyata baru awal. Tak lama kemudian menyusul satu demi satu Nakula dan Arjuna. Bima menggeram. “Kenapa adik-adikku harus mati dengan cara yang mengenaskan, Kakang, aaarrrgggh!”.
“Bima…” suara Yudhistira bergetar “Tuhan tidak menyukai kesombongan. Sadewa merasa dirinya paling tampan. Nakula mengangap dirinya paling pandai. Sedang Arjuna, hmmm….”.
Yudhistira menerawang.
Kesaktian Arjuna setingkat Dewa, ujar Yudhistira. Ia gemar tapabrata dan kekasih Sang Hyang Indra. Tapi ia jumawa. Masih ingatkah kau ketika adikmu itu menggugat “darah balas darah, pati balas pati” tatkala puteranya gugur? Ia bersumpah akan membalas kematian Abimanyu sebelum matahari lengser. Ternyata ia tidak menepati janjinya. Tuhan tidak suka.
Sekuat tenaga mereka berdua meneruskan langkah. Puncak Gunung Himawan temaram di antara halimun.
Bima yang perkasa mulai gontai. Terseok-seok ia berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya beberapa langkah di belakang Yudhistira. Tapi ia semakin tertinggal jauh. Hingga akhirnya tubuh raksasa itu berdebam jatuh menimpa bumi.
“Kakang… aku tak sanggup lagi… ” teriak Bima.
Yudhistira menghentikan langkahnya untuk memberikan penghormatan terakhir kepada pahlawan Bharatayudha yang ia sayangi itu.
Batinnya bergumam. “Wahai Putera Bayu kesayangan Dewa Ruci… engkau jumawa dan merasa dirimu tak terkalahkan oleh siapapun. Bicaramu kasar, dan engkau tak pernah merasa bersalah. Selamat jalan, pergilah dengan damai adikku…”.
Yudhistira meneruskan langkahnya ditemani anjing putih yang setia itu … Hingga sampailah keduanya di puncak Gunung Himawan.
Suasana hening. Siluet tubuh Yudhistira tampak merunduk menghitam dilatari salju. Rambut sebahu yang puluhan tahun disemati makuta berlian itu lusuh memburai.
“Semua telah pergi. Sebentar lagi giliranku. Duh Yang Maha Agung… terimalah adik-adik hamba… ” Ia menarik nafas panjang, lalu membungkukkan badan berbicara kepada anjingnya. “Aku gundah bukan karena harus menghadapi ajalku. Namun aku tak tega meninggalkanmu sendirian di puncak gunung ini…”.
Tiba-tiba anjing putih itu lenyap menjadi asap bergulung. Yudhistira terdongak mendengar suara gemuruh di angkasa. Dan … dari balik awan Betara Indra muncul mengendarai kereta kencana yang dihela delapan kuda sembrani putih. Berhenti tepat di hadapan putera sulung Pandu Dewanata ini.
“Samiaji… “ ujar Betara Indra “adik-adikmu gagal karena hidup mereka sarat dengan pamrih. Mereka merasa bahwa dirinya “penuh berisi” padahal sejatinya “kosong”. Sedang engkau sebaliknya. Engkau “mengisi”, dengan “mengosongkan” dirimu”.
Betara Indra mengangsurkan tangannya “Ayo. Naiklah ke atas keretaku… kuantar engkau ke surga karena keutamaanmu”.
Comment