Wartaindonews — Sejak kehadiran manusia baru dari buah kasih suami-isteri, sejak saat itu suami-isteri mempunyai sebutan baru, yaitu: orangtua. Sedangkan buah kasih cinta suami-isteri disebut anak. Maka mulai saat itu, orangtua mempunyai tugas baru sebagai konsekuensi dari menurunkan ciptaan baru, yaitu: anak. Tugas baru itu adalah sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab itu sangat mulia, namun tidak mudah. Tugas itu adalah mendidik dalam pengertian yang utuh, berupa pendidikan nilai-nilai, habitus, tanggung jawab, dll. Oleh karena tugas baru yaitu mendidik ini, maka orangtua juga punya gelar baru, yaitu: ‘Pendidik Pertama dan Utama’ bagi anak-anak mereka. Kalau orangtua adalah ‘Pendidik Pertama dan Utama’, maka rumah atau keluarga menjadi ‘Sekolah Pertama’. Di dalam keluarga inilah hendaknya ditanamkan nilai-nilai, keutamaan-keutamaan, habitus dan tanggung jawab yang merupakan unsur yang mendasar yang sangat dibutuhkan untuk membentuk pribadi yang berguna bagi negara dan gereja.
Pertanyaannya: ‘Nilai-nilai, habitus dan tanggung jawab seperti apakah yang harus diajarkan atau ditanamkan kepada anak oleh orangtua?’
Nilai Iman
Sebagai orangtua katolik, tanggung jawab pertama yang ada kaitannya dengan nilai iman adalah membaptiskan anak. Hendaknya anak dibaptiskan pada minggu-minggu pertama kelahiran. Baru setelah anak tambah besar dan bisa diajak bicara atau sudah bisa membaca, diajarkan nilai iman yang lain. Menanamkan iman hendaknya diajarkan secara utuh (integral). Iman itu terdiri dari beberapa aspek, yaitu:
pengetahuan iman
ungkapan iman
perwujudan iman
Maka penanaman nilai iman ya mencakup tiga aspek itu.
Pengetahuan Iman.
Orangtua bisa menceritakan hal sederhana, seperti tentang penciptaan dengan bahasa yang sederhana, yang bisa dimengerti oleh anak. Kalau nanti anak sudah tambah besar dan bisa membaca, bisa difasilitasi dengan Alkitab. Misalnya: ‘Alkitab Kecilku-Cerita Alkitab Bergambar 1’ oleh Robin Currie. Alkitab ini sangat menarik karena bergambar warna-warni. Ditulis dalam dua bahasa, yaitu: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Alkitab ini dilengkapi dengan aktivitas sederhana dan doa singkat yang membuat Alkitab ini lebih hidup.
Ungkapan Iman.
Ungkapan iman itu berupa doa. Maka, sejak kecil anak harus dikenalkan dan diajari doa harian yang sederhana. Doa sebelum tidur malam, doa setelah bangun pagi, doa sebelum makan, doa sesudah makan. Saya mempunyai seorang cucu berusia enam tahun yang senang sekali bila diminta memimpin doa sebelum tidur menggunakan bahasa sendiri. Pada bulan Maria (Mei) atau bulan Rosario (Oktober), dia semangat sekali mengikuti doa rosario. Dia senang sekali bisa mendaraskan ‘Salam Maria’ dengan benar dan lantang. Sejak dini, anak hendaknya sudah diperkenalkan dengan gereja. Orangtua diharapkan mengajak anak mengikuti perayaan ekaristi, meski belum bisa memahami makna ekaristi. Ini adalah penanaman habitus atau nilai iman. Dalam keluarga, hendaknya orangtua sering mengajak anak untuk doa bersama.
Perwujudan Iman.
Perwujudan iman adalah tindakan atau aksi nyata yang dijalankan benar-benar sesuai ajaran agama. Misalnya: kalau dalam agama kita ditekankan tentang kasih. Nah, seperti apa wujud kasih itu? ‘Kasih’ itu wujudnya bisa macam-macam, misalnya: menolong, memaafkan, memperhatikan, peduli terhadap sesama.
Selain nilai iman, masih banyak hal yang berkaitan dengan keutamaan, habitus dan tanggung jawab yang harus ditanamkan oleh orangtua kepada anak sedini mungkin. Saya akan berbagi pengalaman tentang bagaimana saya menanamkan habitus dan tanggung jawab kepada anak saya.
Tentang kerjasama.
Seminggu sekali kami mempunyai kebiasaan membersihkan rumah. Saya pada waktu pertama kali ingin melibatkan anak untuk ikut bersih-bersih, saya berpikir bagaimana ya cara yang efektif agar anak mau diajak kerjasama? Tiba-tiba saya punya ide. Saya tidak menyuruh atau meminta anak untuk membantu saya, tetapi saya melakukan sendiri dulu apa yang ingin saya kerjakan. Pengalaman pertama saya melibatkan anak untuk kerjasama adalah membersihkan semua kaca rumah. Saya ambil kain, lalu membersihkan kaca bagian depan rumah. Nah, pada saat anak lewat, saya bukan menyuruh atau meminta, melainkan menawarkan apakah dia mau membantu? Jawabannya mau. Maka sejak saat itu, terbangun habitus kerjasama di rumah. Pengalaman yang menyenangkan.
Tentang pergi atau meninggalkan rumah.
Saya mengajak semua anggota keluarga kalau akan pergi atau meninggalkan rumah untuk memberitahu. Ini berlaku baik bagi orangtua maupun anak. Hal yang perlu disampaikan antara lain:
mau pergi kemana?
dalam rangka acara apa atau keperluan apa atau tujuan apa?
dengan siapa?
berapa lama atau kira-kira pulang jam berapa?
Bila anak mau pergi, kebetulan orangtua tidak berada di rumah, anak wajib menuliskan hal yang perlu disampaikan di atas pada sehelai kertas yang sudah disediakan di atas kulkas. Dengan demikian, orangtua tahu apa yang sedang anak lakukan, tempatnya, temannya dan kurang lebih waktu selesainya atau pulangnya. Dengan cara ini, kami merasa tenang, tidak cemas karena ketidakpastian keberadaan anak. Andaikata ada sesuatu perubahan waktu pulang entah apa penyebabnya, apakah acaranya jam mulainya mundur, ban gembos di jalan, saya selalu minta informasi melalui telpon yang dulu ada di pinggir jalan. Dengan cara ini, tidak membuat hati orangtua dag … dig … dug.
Khusus untuk anak saya yang cewek, ada tambahan hal yang harus diperhatikan olehnya. Misalnya: andaikata pulang dari suatu acara atau kegiatan di tengah perjalanan tiba-tiba hujan deras, kalau mau berteduh harus diamati lokasinya. Kalau di situ banyak orang, oke-lah berteduh. Tetapi kalau lokasinya sepi atau hanya ada sedikit orang dan cowok-cowok, lebih baik pulang saja meskipun masih hujan. Menurut saya ini penting dan perlu untuk mengantisipasi terjadinya kejahatan, lebih-lebih kejahatan seksual pada zaman now.
Berikut kisah nyata yang pernah dialami anak saya yang cewek. Dulu sewaktu anak cewek saya mulai berminat menjadi puteri altar, pada hari tertentu di sore hari, dia harus berlatih di gereja. Ada beberapa jalan yang bisa dilewati: jalan besar (umum) dan jalan kecil kampung, serta jalan lewat proyek pembangunan perumahan. Saya berpesan pada anak cewek saya untuk lewat jalan besar saja dengan pertimbangan ramai (banyak orang), ada penerangan jalan. Jalan di kampung dan proyek pembangunan perumahan gelap. Suatu hari, anak saya ini selesai latihan pulang lewat proyek pembangunan perumahan. Apa yang terjadi? Pada saat dia naik sepeda, lewat tengah bangunan yang belum selesai, para tukang bangunan yang kebanyakan remaja pada lari keluar mau berbuat iseng pada anak saya. Melihat kejadian itu, saya mempercepat motor saya sambil berteriak: ‘Pada mau apa ini?’. Mereka bubar lari tunggang langgang. Sejak peristiwa itu, anak saya kalau latihan selalu lewat jalan besar.
Tentang pergaulan atau pertemanan.
Anak semakin lama semakin besar. Mereka mulai merasakan kebutuhan untuk bergaul dengan anak sebaya. Saya tentu tidak melarang, karena manusia adalah mahkluk sosial. Justru saya mendorong untuk berteman. Tentu mereka harus dibekali kiat-kiat berteman yang baik, seperti: tidak boleh pilih-pilih, tidak nakal, tidak melakukan sesuatu yang jelek (mencuri, berkelahi, dll). Pernah suatu hari, anak saya yang cowok diajak main bola oleh teman-temannya. Sepulang dari main bola itu, dia bercerita kepada saya. Dia berkata: ‘Bapak, teman-teman saya jelek. Tadi pada mencuri mangga. Terus saya bagaimana? Boleh tetap berteman dengan mereka tidak?’. Lalu saya menjawab: ‘Kalau teman-temanmu pas baik, main bola misalnya, teruslah bermain dengan mereka. Tetapi kalau mereka mengajak kamu mencuri mangga atau tebu di sawah, kamu lebih baik pulang, karena teman-temanmu saat itu tidak baik’. Dari pengalaman berteman itu, anak saya bisa belajar mana yang baik, mana yang tidak baik, dan dia bisa bersikap.
Tentang belajar.
Sejak belajar di bangku SD, kedua anak saya sudah memiliki habitus belajar sendiri, yang saya sendiri heran kok bisa tanpa saya minta sudah berjalan teratur. Mereka kalau pulang sekolah apa yang mereka kerjakan adalah langsung belajar dan mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah). Baru setelah belajar dan mengerjakan PR, mereka melakukan yang lain: bermain, nonton TV, tidur, makan. Pendeknya, pulang sekolah nomor satu belajar dan mengerjakan PR. Sebagai orangtua, saya tidak ingin mengubah habitus yang sudah terbangun. Saya khawatir kalau diubah malah jadi ambyar. Saya menghargai mereka dan prestasi belajar mereka bagus.
Tentang tanggung jawab.
Kami berdua, suami-isteri, semua bekerja. Untuk mengatasi kerepotan urusan rumah tangga, kami tidak bisa menjalankan tanpa bantuan orang lain. Maka, kami membutuhkan pembantu rumah tangga, untuk: memasak, mencuci, setrika dan bersih-bersih rumah. Lebih-lebih untuk menemani anak sepulang sekolah. Kami berdua, hampir setiap hari pulang sore karena setelah usai pelajaran sekolah masih harus memberi ekstra kurikuler sore hari. Pernah suatu waktu, kami tidak punya pembantu. Kami sudah terus mencari, namun hasilnya nol. Kacau. Dalam keadaan darurat, saya mempunyai ide untuk mengatasi keadaan. Karena waktu itu kami tidak punya pembantu, maka anak saya minta untuk mandiri. Saya pernah membaca sebuah majalah berbahasa Jerman. Dalam majalah itu, ada sebuah artikel yang menceritakan tentang pola hidup keluarga-keluarga di Jerman. Salah satu artikel yang bagi saya sangat menarik dan sangat mengesan adalah tentang kemandirian anak-anak karena di tinggal bekerja setiap hari oleh orangtua mereka. Mereka pulang sekolah lebih awal daripada orangtua mereka. Mereka tinggal di rumah tanpa orangtuanya. Maka mereka harus mandiri, mengurus diri sendiri dan kebutuhan-kebutuhannya, mulai dari membuka rumah, makan, dll. Memang kebutuhan mereka sudah disiapkan oleh orangtua: makan, makanan kecil, buah, dll. Agar bisa keluar masuk kamar atau rumah, anak-anak ini membawa kunci sendiri yang dikalungkan di leher mereka. Dalam bahasa Jerman, anak-anak ini dikenal dengan sebutan ‘Schlüsel Kinder’. Nah, ‘Schlüsel Kinder’ ini menginspirasi saya dalam mengatasi masalah tanpa pembantu. Hal ini sekaligus mendewasakan anak dan menanamkan tanggung jawab. Memang, awalnya ada perasaan khawatir, cemas, namun lama-lama terbiasa juga. Beberapa hari sejak anak membawa kunci sendiri, saya memantau mereka dari jarak yang jauh, supaya tidak terlihat, untuk memastikan mereka bisa dipercaya atau tidak. Setelah kira-kira tiga kali saya pantau, saya yakin anak bisa mandiri dan bertanggung jawab. Mereka tumbuh semakin besar dan semakin mandiri, tanggung jawab dan bisa dipercaya. Inilah nilai-nilai, habitus dan tanggung jawab yang saya tanamkan sejak dini.
Penulis: Ph. Ispriyanto
Comment