by

Pemuka Agama dan Pemilu 2019

-Artikel-1,624 views

Wartaindo.news – “Karena Indonesia terdiri dari ribuan pulau, ratusan bahasa, dan masyarakat dari berbagai daerah serta suku bangsa, saya belajar menghargai nilai-nilai kemanusiaan selama saya berada di sini. Dan ayah tiri saya, seperti halnya kebanyakan orang Indonesia, dibesarkan sebagai Muslim, ia meyakini bahwa semua agama patut dihargai.

Dengan cara ini ia merefleksikan semangat toleransi keberagamaan yang tercantum dalam UUD Indonesia, yang menjadikan salah satu ciri khas yang menginspirasi dari negara ini” (Barack Obama, di Universitas Indonesia tahun 2010). DNA bangsa ini sejatinya adalah kerukunan dan toleransi. Kearifan itu menjadi magnet perhatian dan inspirasi bagi bangsa-bangsa lain.

Namun ketika berbagai bangsa memuji kebhinekaan Indonesia, ironisnya sebagian warga Indonesia justru menegasikan kebhinnekaan itu. Dalam tataran praksis masih sering terjadi ketegangan, karena digunakannya logika penyingkiran, bukan logika penerimaan. Mengentalnya fanatisme dan sikap in-group out-group, mereka yang
berbeda dianggap sebagai liyan (the others). Segala hal yang menyangkut kelompok lain dianggap sebagai sesuatu yang negatif atau tidak harus dihormati, bahkan lebih jauh lagi dianggap sebagai musuh.

Ini menjadi keprihatinan dan tantangan yang mendesak. Yang semula harmonis itu berubah menjadi tidak harmonis, semakin luntur kohesivitas sosial dan kesadaran bersama sebagai satu bangsa. Relasi dan solidaritas kebangsaan itu menjadi kian renggang dan rapuh. Buya Syafii Maarif menyatakan bahwa kebhinnekaan dan toleransi yang menjadi modal besar sebagai bangsa, selama ini tertutupi dan/atau sengaja dipinggirkan oleh berbagai kepentingan.

Di setiap hajatan besar politik seperti Pilkada DKI 2017, Pilkada serentak 2018, dan masa kampanye Pileg dan Pilpres 2019 bisa kita rasakan suhu politik dan situasi kebangsaan semakin memanas, semua demi ambisi kekuasaan. Politik sektarian yang menggoreng isue agama telah banyak menguras energi bangsa. Salah satu sumber potensi yang bisa mengguncang serta memecah belah Indonesia adalah ujaran kebencian (hate speech), konten propaganda, provokatif, berita palsu (hoax), post truth campaign dan adu domba, serta disinformasi yang semakin marak di media sosial menghasilkan silang sengkarut.

Fakta tidak penting dan pusat data didelegitimasi, media diserang dan intelektualitas dirusak. Tidak penting benar salah, tapi yang penting percaya, bukan pada hal yang obyektif, tapi pada emotional truth. Dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi, merebak proses ekspresi dan artikulasi keagamaan yang berkelindan dengan kepentingan politik di media sosial dan ruang publik, yang narasinya tidak ramah dan menyasar perasaan tidak aman pada croc brain.

Penjelasan empirik berdasarkan data yang dicerna neo cortex menjadi percuma. Tantangan di era medsos sekarang ini hoax lebih cepat menyebar daripada panggung dakwah di masjid atau gereja mana pun. Politik hoax yang biasanya menumpang pada politik identitas agama atau etnik, telah mengeraskan radikalisme dan merebakkan intoleransi religius kultural. Mengkhawatirkan lagi jika mimbar rumah ibadah menjadi corong politik, khotbah kebencian dan intoleransi.

Motif politik bercampur ego keagamaan mempunyai andil besar atas munculnya prasangka sosial dan dalam banyak kasus intoleransi yang ada di negeri ini pada saat penyelenggaraan pemilu. Dalam pusaran Pemilu 2019 ini, peran pemuka agama sangat dominan untuk menjaga Indonesia yang damai, aman, berkualitas dan bermartabat. Pemuka agama sesunguhnya aktor penting dalam melakukan pendidikan politik masyarakat, pelaku utama yang mampu menyampaikan pesan perdamaian, menghadirkan literasi yang menyejukkan dan damai. Bersama seluruh komponen bangsa seyogyanya bersunguh-sungguh menyemai kerukunan dan menyuburkan toleransi, mewujudkan masyarakat majemuk Indonesia yang berkeadaban, adil, damai dan demokratis.

Kedamaian dan persatuan tidak boleh dikorbankan demi kepentingan politik tertentu. Tantangan utama bangsa Indonesia di tahun politik ini adalah menjaga toleransi, kemajemukan dan persatuan Jika institusi agama hendak sungguh-sungguh berperan di Indonesia, maka haruslah menjadi signfikan dan relevan. Bermakna bagi umatnya dan pertumbuhan imannya, dan bermakna bagi kehidupan Indonesia, menjadi berkah, bukan menjadi ancaman. Setiap pemeluk agama yang berasal dari berbagai suku di Indonesia ini memiliki panggilan khusus yang sama untuk bersaksi bahwa hidup dalam perbedaan itu tidak saja mungkin, tetapi sungguh memperkaya dan menyumbangkan sesuatu bagi kehidupan beriman dan bernegara. Iman dan kebangsaan bukanlah sebuah oposisi, justru kebangsaan itu pengejawantahan dari iman. Persatuan tidak lahir dengan menghilangkan perbedaan, namun sebaliknya hanya akan muncul melalui penghargaan atas perbedaan dan pengakuan keberadaan antarkelompok. Roh keindonesiaan
tetap hanya satu yakni Pancasila, bukan agama, ideologi partai dan kepentingan korporat.

Pancasila adalah pengikat segala suku bangsa se-Nusantara menjadi satu jiwa, dengan kehendak untuk hidup damai bersama sebagai bangsa Indonesia. Para pendiri Republik ini dengan kerendahan hati dan kearifan futuristik merancang bangun negara Indonesia yang menyatukan berbagai suku bangsa, budaya, kepercayaan dan agama, adalah upaya sungguh-sungguh dalam mencari sistem kenegaraan yang menjamin kerukunan dan pluralisme keagamaan. Ketuhanan yang bukan sekedar keagamaan.

Semua komponen bangsa termasuk ulama, tokoh agama dan umat beragama perlu memikirkan bagaimana menata wajah bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berlindung dalam satu kemah Allah dan bermoral Pancasila tanpa manipulasi. Dengan demikian kita sungguh mampu menjadi penyuluh semangat kita bhinneka, kita Indonesia. Pancasila menjadi inspirasi batin yang diwujudkan dalam laku sehari-hari setiap warga bangsa. 

 

Penulis – Ruddy Nararyo Saroyo

Halaman Selanjutnya

Kontributor

Comment

Leave a Reply