Wartaindo.news – Dunia dan agama sudah berubah, dunia telah menjadi satu, polisentris, multikultural dan multi religius, batas geografis dan agama telah menjadi semu, maka tidak bisa disangkal bahwa agama dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan bermasyarakat saling tergantung, satu mempengaruhi yang lain, satu tidak bisa berdiri sendiri tanpa subjek lain.
Di era internet of things dan teknologi informasi tak terbendung mendominasi segala aspek kehidupan, masyarakat bertransformasi dari citizen warga masyarakat lokal menjadi netizen warga komunitas dunia. Ketika dunia
mengglobal, ada beberapa pemeluk agama yang ingin mempertahankan nilai dan tradisi religiusnya secara puritan. Lahirlah gerakan fundamentalisme yang bersifat eksklusif dan mencekam, sehingga agama menjadi berwajah menakutkan bagi yang lain. Padahal sebagaimana diungkapkan oleh Din Syamsudin, agama sejati ialah agama yang membawa pesan perdamaian, bukan malah menjadi pemantik konflik tak berkesudahan. Jangan bilang beragama kalau tidak berpihak pada kehidupan dan menebarkan cinta kasih. Tidak boleh ada kekerasan karena perbedaan keyakinan, apalagi mengatasnamakan perintah Tuhan dan membela agama. Dalam pandangan Hans Kung, teologi harus bertanggung jawab bagi terciptanya perdamaian.
Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama. Dibutuhkan bukan sekedar koeksistensi damai, tapi pro-eksistensi. Hanya jika kita berusaha mengenal (tanpa prasangka) dan memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat menemukan dasar yang sama meskipun ada perbedaannya. Hal ini dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai.
Kerja-kerja untuk mewujudkan kerukunan adalah tugas dengan jangka waktu yang lama hingga mencapai seratus tahun. Jika mengalami kegagalan, kita harus siap memulai kerja tersebut dari awal kembali.
Perlu kerjasama semua orang yang berkehendak baik akan mewujudkan masyarakat yang rukun, toleran, adil dan manusiawi. Praktik membangun hubungan antarkelompok mengharuskan adanya ruang interaksi yang terbuka. Silaturahmi dan budaya srawung untuk dialog lintas iman perlu agar setiap orang mampu menghilangkan prasangka, mempererat hubungan dan saling pengertian. Ketika prasangka bisa dikesampingkan, maka akan mudah untuk membangun inklusivitas. Perbedaan keyakinan bukanlah penghalang untuk saling memahami dan berinteraksi. Membangun kesepahaman dan menetralisir kesalahpahaman penting untuk praktik toleransi. Tanpa toleransi, maka kita tidak akan mampu menyanggga beban pluralitas dan multi-kulturalitas sebagai suatu bangsa. Toleransi harus menjadi dasar pijakan.
Pemuka agama perlu terus memperkuat kesadaran untuk membangun landasan yang sama, yakni menjunjung
tinggi kemanusiaan dan etika beragama sebagai titik tolak agar persoalan perbedaan pandangan tidak meruncing dan konflik tidak membara. Kebhinekaan dan keberagaman perlu dirawat sebagai mutiara kebangsaan. Keberagaman yang menjadi faktor genetik bangsa ini adalah harta karun dan taman sari kebangsaan. Kebhinnekaan
harus mutlak dipahami dan diterima sebagai aset bangsa, sehingga kemajemukan sungguh akan melahirkan sebuah harmoni. Indonesia harus menjadi rumah bersama bagi berbagai kalangan dan golongan. Tidak ada jalan lain bagi setiap orang kecuali mengenali, memahami, dan menerima keberagaman tersebut.
Musyawarah Besar Pemuka Agama (Februari 2018) memberikan rekomendasi dan menegaskan kembali peran pemuka agama yang harus menjadi teladan dan pelopor kerukunan antarumat beragama. Sebagai umat beriman kita berpartisipasi dalam pembangunan dengan perspektif iman. Kita mencintai Indonesia sebab kita lahir, melakoni hidup dan meninggal di bumi Indonesia yang menjadi sajadah kita.
Penulis – Ruddy Nararyo Saroyo