Paket Dalam Tas Raket dan Skenario 22 Mei

Nasional7,802 views

Wartaindonews, JAKARTA – Sepekan sebelum batas akhir penetapan hasil Pemilihan Umum 2019 yang jatuh pada 22 Mei 2019, Soenarko mencak-mencak terhadap Heriansyah, anak buahnya yang bermukim di Aceh. Bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu menanyakan alasan paket senjata dari Aceh tak kunjung dikirim ke Jakarta, padahal sudah dipesan sejak beberapa bulan sebelumnya. Heriansyah kemudian mengirimkan pesanan tersebut. Tapi, sebelum senapan laras panjang itu sampai ke tangan Soenarko, aparat mencegatnya. Menurut Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, senapan dari Aceh itu rencananya digunakan untuk menyerang aparat dan pengunjuk rasa pada 22 Mei di depan kantor Badan Pengawas Pemilu, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. “Kalau ada yang tewas, seolah-olah aparat yang melakukan,” ujar Tito dalam konferensi pers, 21 Mei lalu.

Menurut pengakuan Heriansyah kepada penyidik, perkenalannya dengan Soenarko terjadi ketika pensiunan jenderal bintang dua yang kini berumur 65 tahun itu menjabat Panglima Daerah Militer Iskandar Muda pada 2008. Waktu itu, Heriansyah adalah informan yang juga diminta membantu pemerintah mengumpulkan senjata dari kombatan Gerakan Aceh Merdeka, seperti yang diamanatkan Perjanjian Helsinki 2005.

Hubungan dengan Heriansyah tak lekang meski Soenarko ditarik ke Bandung menjadi Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri sebelum pensiun. Kepada Heriansyah, Soenarko menitipkan mobil Toyota Fortuner putih dengan nomor polisi BL-511-VG. Kendaraan itu ditengarai fasilitas untuk Soenarko sebagai pengurus sebuah perusahaan swasta yang beroperasi di Aceh. Heriansyah pula yang menyopiri Soenarko dengan mobil tersebut manakala lulusan Akademi Militer 1978 itu singgah di Serambi Mekah.

Heriansyah menjelaskan dalam pemeriksaan bahwa pada hari Soenarko bersungut-sungut soal pengiriman senjata, ia lantas mengambil senapan yang tersimpan di mobil Toyota Fortuner itu. Kemudian ia mengemas paket dalam tas raket berwarna kuning. Isinya: sepucuk M4 Carbine, dua magasin, dan peredam—persis seperti yang diperlihatkan Kepala Polri dalam konferensi pers pada 21 Mei. “Senjata itu belum pernah dipakai. Hanya Pak Soenarko yang mengetahui asalnya,” ujar Heriansyah kepada penyidik.

Heriansyah lalu menghubungi tentara berinisial BP, seorang tamtama berpangkat prajurit kepala. Mereka bersepakat mengirim paket lewat jalur penerbangan. Agar senjata itu bisa dibawa dalam pesawat, BP memalsukan dokumen pengiriman dengan surat bertanda tangan Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Aceh. Hanya, ia mencomot surat format lama yang masih mencantumkan nama Brigadir Jenderal Sunari sebagai Kepala BIN Daerah Aceh. Padahal Sunari telah digantikan Kolonel Cahyono Cahya Angkasa per 26 Januari 2019.

Kolonel Cahyono enggan menanggapi layang palsu yang dipakai untuk meloloskan pengiriman bedil dari Aceh ke Jakarta itu. “Saya tak punya wewenang menjelaskan. Silakan bertanya ke pusat,” kata Cahyono. Direktur Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Purwanto menjelaskan, pemimpin lembaga telik sandi di daerah tak pernah serampangan mengeluarkan surat izin membawa senjata. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menduga senjata itu bekas konflik Aceh. “Bisa jadi itu sisa perang GAM,” kata mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia ini.

Kontributor

Leave a Reply