by

Nikah Siri, Ditinjau Dari Sudut Pandang Hukum Positif

-Artikel-349 views

Wartaindo.news, Karanganyar – Konstitusi kita menganut azas legalitas, keabsahan kewenangan diatur berdasarkan Peraturan dan Perundang undangan.
Seperti untuk perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam Pasal 1 didefinisikan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan pejabat fungsional PNS yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan pelaksanaan nikah atau rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan adalah Pejabat Penghulu. 

Bukti Perkawinan tersebut akan dicacat di KUA dan masing-masing mempelai akan diberikan buku nikah. Dengan demikian Perkawinan telah Sah secara hukum negara untuk melakukan hubungan suami istri, tinggal bersama dan beranak pinak. suami atau istri mempunyai hak secara perdata, (waris, hak gaji, tunjangan, hak lain yang didapat dari suami).

Sedangkan Nikah siri belum memenuhi unsur-unsur pernikahan yang sah (menurut terminologi Undang Undang). Artinya, keduanya tidak terikat dalam perkawinan yang sah tetapi patut diduga kiranya telah melakukan perbuatan zina sebagaimana diatur Pasal 284 KUHPidana karena tinggal serumah sekamar dan seranjang seketiduran.

Selain bisa diancam dengan pasal 284, masih ada pasal 279 KUHPidana pada ayat (1) disebutkan “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu”. 

Menjadi penghalang disini, maksudnya, bahwa suami yang menikah lagi itu, sebetulnya mengetahui dan menyadari bahwa untuk bisa menikah lagi dia memerlukan izin istrinya dan izin poligami dari Pengadilan, tetapi hal itu diterangkan. Pada ayat (2) ancaman hukumannya lebih berat lagi, yaitu hukuman penjara selama 7 tahun jika suami yang menikah lagi itu menyembunyikan fakta bahwa dirinya masih terikat perkawinan dengan perempuan lain.

Terkait dengan pasal 279 KUHP ini, para penghulu liar (yang menikahkan secara siri) atau yang membantu pelaksanaan pernikahan  itu, juga dapat dijerat  pidana turut serta, karena dia berada pada posisi “mengetahui adanya penghalang” menurut undang undang atas diri laki-laki yang dinikahkannya tersebut.
Juga berlaku pasal 55 KUHP tentang turut serta dan pasal 56 KUHP tentang perbantuan.
Nikah siri adalah perzinahan yang seolah olah dilegalkan.

 

Oleh: Tri Gusnadi, S.H., M.H.

Kontributor