Wartaindonews — Saya pernah mempunyai seorang siswi, sebut saja Melati (bukan nama sebenarnya). Ia berasal dari kota kecil N. Sejak belajar di bangku SMA (waktu itu masih dengan sistem Catur Wulan = CaWu) di Solo ini, nilai rapornya sejak CaWu I selalu jelek. Dari 13 mata pelajaran, hanya 2 saja yang tidak merah. Pada CaWu II sama saja, hanya saja yang tidak merah tukar tempat. Tapi Melati ini tampaknya sama sekali tidak sedih. Sebagian besar guru sudah ‘menyerah’ dan tidak memedulikannya lagi. Bahkan wali kelasnya saja antipati padanya. Dalam suatu rapat guru, pernah ada gagasan untuk mengeluarkan (istilah halusnya: mengembalikan kepada orangtua) Melati.
Saya sendiri sebetulnya juga tidak senang melihat sikapnya ketika mengikuti pelajaran di kelas. Dari bahasa tubuhnya kelihatan bahwa dia acuh tak acuh terhadap pelajaran yang sedang diterangkan, kalau tidak meletakkan kepala diatas meja ya melamun jauh. Saya pernah tergoda untuk juga ‘cuek’ padanya seperti kolega – kolega saya. Namun suara hati saya mengusik, ‘Apakah bijaksana tindakan itu? Apakah tidak lebih baik mencari tahu penyebab dari sikap ‘cuek habis’ Melati itu?’
Saya lantas berpendapat bahwa Melati sebaiknya justru didekati. Mungkin dengan adanya orang yang bisa dia percayai, dia akan terbuka. Saya lalu mengajak dia untuk berdialog dari hati ke hati. Benar dugaan saya, dia mau dengan jujur menceritakan semuanya. Dari situ saya tahu apa yang melatarbelakangi sikap acuh tak acuhnya yang luar biasa itu. Akar masalahnya ada di rumah. Keluarganya hancur. Ayahnya mempunyai Wanita Idaman Lain (WIL). Melati sering mengingatkan ayahnya untuk tidak selingkuh. Jika diingatkan demikian, ayahnya akan marah dan bahkan sering memberi Melati ‘bogem mentah’ alias pukulan.
Bahkan suatu hari ketika dia pulang ke rumah di N, dia mendapati ayahnya sedang cekcok dengan ibunya soal WIL itu. Melati bermaksud membela ibunya tapi ayahnya justru marah besar. Melati dipukuli dan didorong ke pojok ruang. Disitu dia ditodong dengan belati dan diancam ayahnya, ‘Awas kau. Akan kubunuh kau dan akan kugores – gores mukamu dengan belati ini, agar kalau kau mati aku tak akan terbayang – bayang wajahmu!’
Mendapat perlakuan yang sangat kejam dari ayahnya itu, Melati lantas berontak. Pemberontakannya ia wujudkan dengan berperilaku sangat buruk, misalnya: menenggak pil, melakukan hubungan seks bebas dan acuh tak acuh di sekolah. Dia sengaja menghancurkan studinya karena dia merasa sia – sia dan tanpa harapan karena keluarganya hancur.
Saya pelan – pelan menasehati dia agar dia berpikir jernih. ‘Saya tahu ayahmu itu kejam, baik terhadap ibumu maupun kamu sendiri. Tapi kamu jangan ‘bunuh diri’ dengan cara menggagalkan studimu, yang berarti kamu merusak masa depanmu sendiri. Ayo bangkit! Masih ada kesempatan 1 CaWu lagi. Kamu pasti bisa mengejar ketinggalan. Kamu pasti bisa naik! Saya yakin itu’.
Sejak saat itu, terjadi perubahan drastis dalam diri Melati. Dia menjadi serius ketika mengikuti pelajaran. Suatu hari, saat istirahat, Melati datang pada saya dan berkata: ‘Pak, saya mengalami sesuatu yang aneh. Pak Is pernah berkata ‘kamu pasti bisa naik’. Kata – kata itu selalu terngiang di telinga saya. Bahkan ketika saya berdiri di depan cermin, yang nampak bukan saya, tapi Pak Is yang sedang berkata ‘kamu pasti bisa naik’. Believe it or not’.
Dan benar memang, di CaWu III nilai Melati bagus dan dia naik kelas. Dari pengalaman ini, kita belajar bahwa ‘motivasi positif’ sungguh mempunyai kekuatan luar biasa. Dr Alan Loy McGinnis (Direktur pada Valley Counseling Center di Glendale, California) pernah berujar, ‘Pada dasarnya setiap orang adalah motivator, entah disadari atau tidak. Kita pernah membujuk teman untuk mengurangi berat badannya atau memberi dorongan semangat pada anak – anak kita atau mereka yang prestasinya merosot’. Marilah kita saling memberi dorongan atau dukungan semangat atau juga nasehat, selagi masih ada kesempatan, demi kebaikan kita bersama, seperti telah dianjurkan dalam Surat kepada Orang Ibrani, ‘Hendaklah kamu saling menasehati selama masih dapat dikatakan hari ini’ (Ibrani 3:13).
Ditulis oleh: Ph. Ispriyanto
ANOMALI :
LIKE DAUGHTER LIKE FATHER.
A family is an eccletia domestica.