Wartaindonews – Makin dekat dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 17 April 2019, maka publikasi hasil polling oleh berbagai lembaga survey makin intens dipublikasisan melalui berbagai media arus utama. Selanjutnya hasil polling yang dipublikasikan oleh berbagai media tersebut dari sisi Teori Agenda Setting, menjadi agenda utama masyarakat untuk dibicarakan dan akhirnya menjadi viral sekaligus bahan diskusi hangat hingga panas di berbagai media sosial, sehingga banyak membingungkan masyarakat.
Diskusi panas di media sosial antar pendukung pasangan calon yang seakan dianggap sama hebohnya dengan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Padahal sebenarnya kehebohan serta panasnya suasana itu hanya ada di media sosial atau mungkin di kalangan elit saja.
Namun, bagaimana pun kecilnya pengaruh, sebenarnya masyarakat awam perlu mengetahui, bagaimana sebenarnya hasil polling itu ? Mengapa meski kebanyakan hasilnya senada, kok masih ada juga yang menyolok perbedaannya?, serta bagaimana sebaiknya sikap pemilih bila hasil polling tersebut digunakan untuk kampanye ?
Pemahaman Salah
Beberapa hari ini salah satu media terkemuka di Indonesia banyak memperoleh protes dari masyarakat, khususnya pendukung salah satu pasangan calon, sebagai dampak dari publikasi hasil polling yang dilakukan oleh Litbangnya. Protes itu bahkan sampai pada penghentian untuk berlangganan serta memboikot menonton Televisi yang juga dimilikinya.
Alasannya, media cetak serta televisi yang ada dalam satu grup tersebut dianggap tidak lagi independent sesuai mottonya, melainkan cenderung mendukung salah satu pasangan. Para pemrotes juga berdalih media utama tersebut sering menampilkan informasi serta opini yang tidak berimbang, alias tidak netral. Para petinggi media tersebut pun akhirnya mengklarifikasinya baik lewat tulisan serta video.
Terlepas dari pandangan-pandangan lainnya, tulisan ini mencoba menelaah secara ilmiah, apa serta bagaimana hasil polling itu, serta bagaimana cara kita memahaminya, sehingga tidak memnimbulkan salah persepsi.
Melakukan polling itu perlu cermat, teliti serta hati-hati. Metode penelitian yang digunakannya pun harus teruji keandalannya. Polling yang biasanya menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan analisis kualitatif, biasanya diperkuat dengan penggunaan statistik deskriptif, sehingga menhasilkan angka-angka prosentase seperti yang disebarkan oleh setidaknya ada 13 lembaga survey yang ada saat ini.
Dalam membaca hasil polling, sebaiknya masyarakat perlu berhati-hati. Bila tidak, bisa menimbulkan salah persepsi. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membaca hasil polling sebagai berikut.
Polling itu terkait dengan persepsi masyarakat, khususnya misalnya calon yang mau dipilih bila pemilu dilakukan hari itu. Terkait ini, setidaknya faktor fluktuasi situasi seperti suasana hati, cara wawancara, lingkungan, pengetahuan, pengalaman dan sejenisnya akan berpengaruh, dan persepsi tersebut masih bisa berubah sesuai dengan dinamika yang terjadi.
Selanjutnya, polling itu menggunakan ilmu statistik yang merupakan ilmu kemungkinan (probability science), sehingga kesimpulan yang dihasilkannya pun kemungkinan betul/cocok, bisa juga salah. Maka digunakanlah standard of eror, serta degrees of freedom. Sayangnya, ada sejumlah lembaga survey yang sering mengklaim hasil surveinya paling benar dan paling akurat, yang sebenarnya secara ilmiah tidak boleh. Kita tentu masih ingat bagaimana polling yang memenangkan Hillary akhirnya justru Trump yang menang, serta banyak juga kasus lainnya.
Yang ke tiga seperti yang banyak diprotes terkait dengan survey Litbangnya misalnya, sebenarnya selisih angka 11,8 % bukankah selisih yang kecil. Selain angkanya di atas standard of eror, angka 11,8 persen dari calon pemilih di Indonesia itu jumlahnya puluhan juta orang.
Yang pantas diprotes sebenarnya adalah bila selisih prosentasenya 0,0…..%, atau di bawah standard of eror, dan hasil itu sangat berbeda monyolok dibanding sebahagian besar lembaga survey lainnya.
Pesan Kampanye
Justru yang perlu dicermati oleh masyarakat adalah apabila hasil polling itu digunakan sebagai media kampanye, yang tujuannya menggiring opini masyarakat bahwa calonnya yang akan menang. Penggiringan opini menjadi opini mayoritas sesuai teori spiral keheningan semacam itu jelas tidak fair, karena data hasil polling itu masih bisa berubah setiap saat sesuai dengan teori persepsi serta statistik.
Melakukan serta memercayai hasil polling bukanlah hal yang salah. Namun mendewakannya juga bukanlah hal yang bijaksana. Bagi calon pemilih, hasil polling itu bisa saja menjadikan salah satu pertimbangan dalam memilih, meski mungkin pengaruhnya belum tentu signifikan.
Sedang bagi pasangan calon serta tim sukses, hasil polling harus menjadikan mereka sebagai pemacu semangat, dan bukan sebaliknya menjadikan mereka pasrah atau putus asa,terlebih melakukan tindakan yang tidak terpuji. Polling yang merupakan persepsi calon pemilih tersebut sewaktu-waktu masih bisa berubah, atau kita yang akan merubahnya , dan media utama yang paling efektif digunakan adalah komunikasi dialogis serta dari hati ke hati.
Oleh: Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si
Dosen dan Ketua STIKOM Semarang
Comment