Wartaindonews — MEMENTO MORI adalah ungkapan dalam bahasa Latin, yang artinya adalah: ‘Ingatlah akan kematian’. Ini adalah sebuah peringatan bagi kita manusia, bahwa suatu saat kita semua akan mengalami yang disebut kematian. Tidak ada orang luput dari kematian. Kematian menimpa seperti iklan Coca Cola: ‘Siapa saja, kapan saja, di mana saja’, bahkan bisa ditambahkan ‘dengan cara apa pun juga’. Ini berarti kematian bisa terjadi pada bayi, anak-anak, remaja, orang dewasa dan orangtua. Orang bisa mengalami kematian di pagi hari, siang hari, sore hari atau malam hari. Orang bisa meninggal di rumah, di rumah sakit, dalam perjalanan, sedang jogging, sedang main tennis, dll. Orang mengalami kematian pun dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang mati karena kecelakaan lalu lintas, ada yang mati saat tidur, ada yang sedang makan kesedak lalu meninggal. Ada juga orang meninggal pada saat mereka dalam suasana kegembiraan, penuh suka cita merayakan momen-momen penting dan bersejarah dalam hidup mereka, seperti: pernikahan, wisuda, promosi jabatan atau menempati tempat tinggal baru. Kita tidak tahu kapan kematian menjemput kita, dengan cara apa. Yang pasti, kita ini sedang antri untuk menerima panggilan Sang Pencipta untuk kembali kepadaNya. Maka tepatlah bunyi ungkapan Latin lain sehubungan dengan kematian. Ungkapan itu berbunyi: ‘HODIE MIHI CRAS TIBI’. Yang artinya: ‘Hari ini aku, besok kamu’. Semua kita mengantri menunggu panggilanNya. Kedua peringatan berbahasa Latin itu, biasanya terpampang di pemakaman atau kuburan. Saya tinggal di Solo. Rumah orangtua saya di Yogya. Kadang-kadang saya pulang ke Yogya. Dari Yogya ke Solo, masuk Klaten, ada sebuah pemakaman dimana di atas pintu masuk pemakaman terpampang tulisan ‘MEMENTO MORI’. Pasti tulisan itu digunakan untuk mengingatkan orang yang masuk ke pemakaman itu sebagai pelayat, orang yang sedang nyekar, untuk ingat akan kematiannya. Bahwa mereka suatu saat akan kembali menjadi tanah, seperti saudara yang mereka doakan, yang terbaring dalam tanah.
Menyikapi ungkapan ‘MEMENTO MORI’, orang bisa menanggapi secara berbeda-beda. Ada orang yang menunjukkan sikap menganggap enteng atau mengecilkan peristiwa kematian dengan ucapannya: ‘Untuk apa menyiapkan kematian? Kalau memang waktunya mati, ya mati’. Atau mungkin orang lain berkata: ‘Saya tidak perlu menyiapkan kematian, sembarang waktu Tuhan panggil, saya siap’.
Namun ada orang yang menyikapi ungkapan ‘MEMENTO MORI’ dengan bijak. Biasanya orang dalam kelompok ini, betul-betul sadar akan kefanaan dunia ini. Ia sadar hidup di muka bumi ini bersifat sementara. Ia sadar sesadar sadarnya, bahwa pada suatu waktu, ia akan kembali kepada Sang Pencipta alias mengalami kematian. Dan ia akan betul-betul menyiapkan diri menyambut ‘Peristiwa Besar’ (kematian) ini dengan sebaik-baiknya. Menyiapkan diri menyambut kematian, hendaknya jangan ditunda-tunda. Lebih baik bila sejak sekarang, selagi masih segar bugar, kita mulai memperhitungkan dan mengolah segala perasaan dan pikiran kita. Dengan kata lain: mulai menyiapkan diri menghadapi kematian.
Menyiapkan diri menghadapi kematian adalah memberi isi kepada hidup yang sedang kita jalani, supaya kelak pada waktu hidup berakhir, hidup kita mempunyai arti dan meninggalkan arti. Contoh fenomenal pribadi yang sungguh menyiapkan kematian agar hidup berarti dan meninggalkan arti di zamannya adalah ibu Teresa dari Calcuta. Beliau adalah sosok pribadi yang menjalankan praktik memberi isi kepada hidup yang sedang dijalani. Dan pada saat beliau wafat, beliau meninggalkan arti yang luar biasa bagi dunia. Beliau meninggalkan kasih bagi dunia melalui tindakan kemanusiaannya yang luar biasa. Bayangkan, beliau mendatangi orang-orang yang sakit, yang sekarat, bahkan yang sudah tak bernyawa di lorong-lorong di pinggiran Calcuta. Bagi yang sakit, dirawatnya agar bisa sembuh. Bagi yang sekarat, yang sudah tidak ada harapan hidup, dimandikan, diberi pakaian yang bagus, didoakan sesuai agama atau keyakinan yang bersangkutan. Beliau merawat orang-orang meninggal dengan tulus, penuh cinta kasih. Sambil merawat jenasah, beliau berucap: ‘Biarlah orang ini meninggal sebagai manusia, sebab waktu hidup, dia seperti binatang’. Sakit di pinggir jalan, bahkan tubuhnya sering digigit belatung. Terlantar di pinggir jalan, kehausan, kelaparan, sakit dan akhirnya meninggal.
Ibu Teresa meninggalkan arti yang luar biasa bagi dunia, yaitu: KASIH dan KEMANUSIAAN. Maka tidak mengherankan pada saat beliau wafat, pemerintah India memberikan penghormatan terakhir kepada ibu Teresa dengan upacara kenegaraan. Berbagai tokoh pemerintahan dari berbagai negara datang untuk memberi penghormatan kepada ‘Sang Tokoh Kasih dan Kemanusiaan’.
Pada dasarnya, setiap orang bisa mengisi hidup ini agar berarti atau bermakna, dan pada saat orang meninggal ada arti atau makna yang ditinggalkan. Orang tidak harus melakukan sesuatu yang besar. Orang dengan profesi atau pekerjaan masing-masing bisa memaknai hidup ini dan meninggalkan arti bagi dunia, asal dalam menjalankan profesi atau pekerjaannya dilandasi dengan kasih yang besar. Saya sendiri menyaksikan setiap hari. Pagi hari saat saya berangkat ke gereja untuk ikut Ekaristi harian, para petugas kebersihan kota sudah bekerja. Mereka menyapu jalanan, mengumpulkan sampah serta mengairi pohon-pohon di kiri kanan jalan. Pada saat pulang, saya melihat jalan sudah bersih dan rapi. Orang banyak bisa lewat jalan yang sudah bersih dan rapi. Demikian juga dengan profesi atau pekerjaan yang lain, asal dikerjakan dengan kasih yang tulus dan tanggung jawab, orang sudah memaknai hidup ini dan meninggalkan arti.
Maka, marilah kita hidup yang baik dengan mengisi kebaikan-kebaikan. Kelak kalau kita sudah meninggal, kita dikenang karena kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan. Menutup tulisan ini, saya mengajak Anda semua untuk merenungkan renungan singkat berikut:
RENUNGAN TENTANG UMUR KITA
Satu hari berlalu, berarti satu hari pula berkurang umur kita.
Umur kita tersisa di hari ini, sungguh tak ternilai harganya.
Sebab esok hari belum tentu jadi bagian dari diri kita.
Karena itu, jika hari berlalu tapi tiada kebaikan dan kebajikan yang kita lakukan,
maka akan keringlah batin kita.
Jangan tertipu dengan usia muda, karena syarat mati tidaklah harus tua.
Jangan terperdaya badan sehat, karena syarat untuk mati tidak pula harus sakit.
Teruslah berbuat baik dan berkata baik.
Penulis: Ph. Ispriyanto
Comment