by

Membingkai Pertumbuhan Anak Dengan Vitamin D4

-Artikel-1,038 views

Wartaindonews — Segala sesuatu yang bertumbuh membutuhkan perawatan dan pemeliharaan. Ambil contoh, apabila kita menanam sebuah pohon mangga. Agar pohon yang kita tanam ini bisa berbuah, kita harus merawat dan memeliharanya secara teratur. Perawatan dan pemeliharaan itu mencakup antara lain: penyiraman, pemupukan, penyiangan dan pemangkasan.

Nah, sekarang pemeliharaan dan perawatan seperti apa jika kita menginginkan anak – anak kita tumbuh sehat secara integral yang mencakup: fisik, jiwa, roh, sosial. Agar anak – anak tumbuh sehat menjadi pribadi yang memiliki integritas, orangtua harus memberikan vitamin D4. Apa itu vitamin D4?

1. Dicintai
Anak – anak perlu dicintai. Cinta yang tulus, murni, bukan cinta bersyarat. Masih banyak ditemukan diantara orangtua yang memberikan cintanya kepada anak dengan syarat. Saya mempunyai pengalaman yang menarik mengenai ‘Cinta bersyarat’. Saya mempunyai seorang siswi, sebut saja ‘Lily’ (bukan nama sebenarnya). Lily termasuk pelajar yang pintar. Prestasinya bagus. Ia beberapa kali masuk peringkat 10 besar. Nah, pada saat prestasinya bagus, ia sangat diperhatikan oleh mamanya. Mamanya membelikan apa yang ia inginkan sebagai ungkapan sukacitanya. Namun suatu saat prestasi Lily turun, ia terlempar dari peringkat 10 besar. Dan apa yang terjadi, mamanya merasa sangat kecewa terhadapnya. Lalu apa yang mama Lily lakukan sangat berbeda dengan pada saat Lily masuk peringkat 10 besar. Lily mendapat perlakuan yang menurut saya tidak pantas dilakukan oleh mamanya. Ia dihajar dan dipukuli. Seorang gadis berusia 17 tahun dan baru sekali saja jatuh prestasinya.

Nah, inilah bentuk ‘Cinta bersyarat’. Mencintai hendaknya tak bersyarat. Jangan mencintai anak – anak kita dengan embel – embel karena cantik, berprestasi, penurut, tanggung jawab. Tentu semua orangtua senang dengan anak – anak yang berkualifikasi seperti itu. Tetapi lalu bagaimana dengan anak – anak kita yang nakal, bodoh, pembangkang, difabel? Memang kita tidak berharap mempunyai anak yang seperti ini. Mungkin mereka lebih banyak menjadi beban. Tetapi anak – anak kita semua adalah ‘Citra / Gambar Allah’. Mereka dan bahkan semua orang adalah citra Allah ‘IMAGO DIE’. Maka marilah kita mencintai anak – anak kita tanpa syarat. Seperti Tuhan Allah kita yang mencintai tanpa syarat. Allah menurunkan hujan dan menyinarkan matahari untuk semua orang, bagi orang yang berdosa maupun tidak.

2. Dihargai
William James, seorang psikolog kesohor Amerika berkata: ‘Kebutuhan manusia yang paling dalam adalah kebutuhan untuk dihargai’. Jadi semua orang butuh penghargaan, butuh dihargai. Berbicara mengenai penghargaan, jangan beranggapan yang butuh penghargaan itu hanya orang dewasa. Anak – anak pun butuh dihargai. Maka sebagai orangtua dalam kehidupan sehari – hari, dalam keluarga kita, jangan lupa menghargai anak – anak kita. Apabila anak – anak usul sesuatu, hargailah dengan mendengarkan usulnya. Anak akan merasa senang didengarkan. Ia merasa dihargai. Soal usulnya diterima atau ditolak itu sangat situasional. Contoh: seorang anak usul, minta dibelikan sepeda motor.

Kita mau mengabulkan atau tidak? Apabila kita menolak, terangkan alasan penolakan dengan cara yang lembut tetapi tegas. Alasan yang menjadi dasar penolakan ditunjukkan. Misalnya, alasan keuangan yang belum mencukupi. Katakan pada anak, ‘Nak, ayah belum bisa membelikan sepeda motor karena uangnya saat ini belum cukup. Tetapi suatu saat nanti, apabila uang sudah cukup pasti ayah belikan’. Alasan lain, misalnya alasan usia, ‘Nak, kamu itu sekarang usiamu masih sangat muda, belum boleh mengendarai sepeda motor menurut peraturan. Jadi, tunggu sampai diijinkan secara hukum boleh mengendarai sepeda motor’. Alasan urgensi / kemendesakan, ‘Nak, sekolahmu itu dekat, jalan kaki, 5 menit sudah sampai. Jadi, kamu belum sangat membutuhkan sepeda motor. Besok kalau sekolahmu jauh, ayah pasti belikan sepeda motor’.

Nah, dengan cara yang halus kita bisa menolak permintaan. Pasti kekecewaan tetap ada, tapi ia bisa menerima kenyataan. Dalam hal ini, anak ditolak namun dihargai.

3. Dilibatkan
Manusia adalah makhluk sosial ‘ZOON POLITIKON’. Sebagai makhluk sosial, hidupnya tak mungkin terpisah dari orang lain. Hidupnya selalu bersama orang lain, sebagaimana dikatakan oleh Martin Buber, seorang filosof Yahudi: ‘Keberadaan kita adalah keberadaan bersama yang lain’. Maka, orang selalu berada bersama yang lain, entah dalam keluarga, perkumpulan, komunitas, dll. Apabila orang dijauhi oleh orang dalam kelompoknya dengan alasan apapun, ia akan sedih, bisa jadi juga jengkel dan marah. Maka, orang tidak akan senang tidak dilibatkan / disingkirkan. Ini berlaku bagi siapa saja tidak hanya orang dewasa. Anak kecil pun ingin dilibatkan. Maka, dalam mendampingi pertumbuhan anak agar sehat, libatkanlah anak – anak dalam menjalani kehidupan keluarga sehari – hari. Bahkan kadang anak kecil justru sering berinisiatif untuk melibatkan diri dalam kegiatan rumah tangga. Saya mempunyai seorang cucu, sekarang usia 6 tahun. Ia selalu ingin melakukan apa yang anak perempuan saya lakukan tiap hari Sabtu, yaitu bersih – bersih. Mulai dari kaca, kulkas, meja kursi, kamar mandi dan lantai. Kalau dilarang, ia marah. Kalau isteri saya sedang masak, ia juga ingin terlibat, mengiris kacang panjang, mengulek. Tentu ia harus dibawah pengawasan, karena masih kecil, kadang kurang berhati – hati.

4. Diberi otonomi (kebebasan)
Waktu kecil, anak – anak banyak tergantung pada orangtua, lebih – lebih pada saat bayi, mereka tergantung mutlak dalam segala hal. Pada saat anak – anak tumbuh menjadi remaja, mereka tahap demi tahap, sedikit demi sedikit mulai melepas ketergantungan mereka pada orangtua. Mereka mulai ingin melakukan sesuatu dengan bebas, mandiri atas inisiatif pribadi. Mereka ingin memiliki dan menikmati kebebasan. Kalau anak – anak sudah ingin bebas (tentu bebas bertanggungjawab), orangtua hendaknya tidak melarang, agar tidak menjadi masalah. Ketika anak saya tumbuh menjadi remaja, ia sudah tidak mau pergi ke gereja bersama kami orangtuanya.

Ia ingin pergi bersama teman – teman sebayanya. Dan kami orangtua tidak melarangnya. Ia tetap ke gereja dan ia bahagia.

Semakin anak tumbuh dewasa, orangtua harus semakin memberikan otonomi yang luas. Apalagi anak yang sudah bisa berpikir, bertanggungjawab. Mereka sudah tidak mau didekte oleh orangtua. Mereka sudah punya ide, pemikiran, wawasan, pilihan – pilihan. Orangtua tentu tetap berhak untuk mendampingi mereka dengan memberikan pendapat, saran, usul tetapi pengambilan keputusan adalah anak – anak. Hanya dengan mengandalkan otoritasnya sebagai orangtua lalu berbuat otoriter akan menimbulkan masalah yang bisa berdampak sangat negatif. Berikut adalah kisah faktual, sungguh terjadi.

Ada seorang anak cewek lulusan SMP. Ia sudah bertekad bulat untuk masuk SMA ‘A’. Tetapi, papanya tidak menyetujuinya. Papa menginginkan anak ceweknya masuk SMA ‘B’. Anak cewek ini sudah diterima di A, tinggal bayar. Tetapi papanya dengan arogan memaksa anak ceweknya untuk masuk B sambil berkata, ‘Kan papa yang bayar, pokoknya B’. Akhirnya dengan sedih, kecewa, mungkin juga jengkel atau marah, anak cewek ini masuk ke B. Tetapi apa yang terjadi setelah beberapa bulan masuk, anak cewek ini mulai berulah sebagai ekspresi pemberontakannya. Anak cewek ini mulai sering bolos, dan kalau bolos ia tidak pergi kemana – mana.

Ia melakukan apa saja didepan orangtua. Mau main organ, internetan atau yang lain, didepan mata orangtua. Lalu suatu hari, papa ini dengan anak ceweknya datang ke konselor. Papa bermaksud membujuk anak ceweknya agar tidak minta pindah sekolah A. Tetapi setelah bercerita kepada konselor, justru papa yang diminta untuk tidak memaksa anak ceweknya sekolah di B. Pada waktu papa dan anak ceweknya pulang, konselor berbisik kepada papa agar memindahkan anak ceweknya ke sekolah A sambil menambahkan: ‘Bapak, awas ini lampu merah’.

Kalau bapak tidak mengabulkan permintaan pindah anak ceweknya, resiko yang lebih besar bisa terjadi. Papa anak ini tidak bergeming. Dia beranggapan paling benar dan main kuasa. Benar apa yang dibisikkan kepada bapak ini. Resiko besar terjadi. Anak cewek ini punya pacar yang kuliah di sebuah perguruan tinggi dan baru semester ke-3. Pacaran mereka dibablaskan. Mereka berhubungan badan. Dan akhirnya anak cewek ini hamil dan melahirkan seorang anak. Untuk menutup rasa malu keluarga, mereka dinikahkan. Tetapi karena mereka belum bisa mencari nafkah sendiri, mereka ikut orangtua anak cewek, jadi beban orangtua cewek.

Marilah kita dampingi anak – anak kita dengan bijak.

 

Penulis : Ph. Ispriyanto

Kontributor

Comment

Leave a Reply

1 comment