by

Membaca Ulang Pemikiran Perihal KOPI & Muasalnya Yang Masih “Penuh” Tanda Tanya

-Artikel-309 views

Kita mengawali tahun 2023 dengan Kajian Perihal Peluang Potensi Kopi Lembah Gunung Arjuna, Jawa Timur, Khususnya KOPI KOBUTIK terkait Temuan Potensi Kopi Indonesia yang ternyata di dalamnya, mengandung Temuan Temuan Penuh Kode Sejarah dan Kode Data Kajian Riset dalam upaya untuk bisa membaca DATA perihal nama nama kopi dan sumber kopi yang JUGA bertebaran di beragam pelosok
Negeri Indonesia Nusantara bahkan adanya beragam catatan di DNA rekaman bhumi suci Kita ini.

Salah satunya adalah referensi terkait Momentum Pembalikan Sejarah Peradaban Kopi Indonesia dan Kopi Dunia, yang bisa berangkat dari Tulisan Saudara Dhani Irwanto di bawah ini, justru pernah beliau lontarkan secara tertulis di medsos sejak Maret 2021.

dengan Judul yang sedikit Kita apreasiasi di bawah ini, dengan satu kata tambahan “PENUH” pada judul tulisannya tersebut, hingga sampai paragraf terakhir liputan ini, semua berasal dari tulisan Saudara Dhani Irwanto, kalok ditambahi catatan editor, itu untuk menguatkan dan meneguhkan logika alur tulisan beliau adanya.

KOPI DAN MUASALNYA YANG MASIH “PENUH” TANDA TANYA

Bukti yang dapat dipercaya dan paling awal tentang minuman kopi atau pengetahuan tentang pohon kopi muncul di pertengahan abad ke-15, di biara Sufi Yaman. Al-Jaziri (1587) menuliskan bahwa seorang Syekh Jamal-al-Din al-Dhabhani, mufti Aden, adalah orang pertama yang mengadopsi penggunaan kopi (sekitar 1454). Dia menelusuri penyebaran kopi dari Arabia Felix (sekarang Yaman) ke utara ke Mekah dan Madinah, dan kemudian ke kota-kota besar Kairo, Damaskus, Baghdad dan Konstantinopel.

Yaman diakui sebagai penghasil kopi komersial pertama di dunia dan tempat penemuan kopi, tetapi muasal kopi di bagian selatan Jazirah Arab ini hanyalah spekulasi belaka. Tidak ada yang benar-benar ditulis tentang asal muasal kopi sebelum abad ke-16, tetapi saat ini kebenaran tampaknya telah hilang. Ada banyak dongeng, yang sering dikutip oleh para penulis unggul, mengatakan bahwa kopi berasal dari Ethiopia, tetapi tanpa bukti faktual. Dongeng-dongeng tersebut baru ditulis mulai 1671, lebih dari dua abad setelah pemanfaatan kopi pertama kali diketahui.

Penggalian arkeologi pada tahun 1998 di Emirat Ras al-Khaimah, terletak di dekat Dubai di pantai Teluk Arab, telah mengungkapkan biji kopi pada lapisan-lapisan tanah yang berasal dari awal abad ke-12, yang berarti 250 tahun lebih tua dari waktu kapan yang selama ini diyakini telah menjadi bahan minuman dan diperdagangkan.

Pecahan tembikar Cina dan Islam yang diimpor ditemukan dalam lapisan yang sama bersamaan dengan biji-bijian gandum, jelai, zaitun, semangka dan buncis. Biji kopinya dapat terawetkan karena biji tersebut telah terkarbonisasi melalui pemanggangan. Tampak jelas bahwa biji kopi telah menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan pada awal abad ke-12.

Sejauh ini belum ada studi genetik yang komprehensif dan global terkait muasal kopi.

Penelitian yang ada belum dapat membuktikan dari bagian dunia mana kopi berasal.

Kopi di Indonesia

Indonesia adalah produsen kopi terbesar keempat di dunia saat ini, setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Budidaya kopi komersial di Indonesia dimulai pada akhir 1600-an dan awal 1700-an, pada awal masa penjajahan Belanda. Kendati demikian, Belanda bukanlah orang yang memperkenalkan kopi di Indonesia. Catatan sejarah mengungkapkan bahwa pemanfaatan kopi sudah ada di Indonesia sebelum Belanda menerapkan sistem budidaya kopi (“cultuurstelsel”).

Biji kopi merupakan salah satu isi ‘peripih’ (wadah batu yang terletak di dasar candi) di kompleks Candi Plaosan abad ke-9 di Jawa, bersama dengan biji padi, jagung dan jelai (Sumijati Atmosudiro et al 2008 dan BPCB Jawa Tengah). Hal ini mengungkapkan bahwa kopi merupakan tanaman penting di daerah itu pada abad ke-9.

Kopi merupakan salah satu jenis jamuan yang disajikan kepada para tamu pada masa Kekaisaran Majapahit (1293 sampai kira-kira 1527) seperti yang ditulis oleh Constantinus Alting Mees dalam “De Kroniek Van Koetai” pada 1935. Dikisahkan bahwa ketika Maharaja Kutai berkunjung ke istana Majapahit, sebuah minuman disebut “kahwa” disajikan dalam suatu jamuan malam, yang kemudian diketahui sebagai kopi.

Kopi telah dibudidayakan secara luas di bagian barat Sumatera sebelum Belanda datang untuk menerapkan sistem budidaya kopi di daerah tersebut, sebagaimana ditulis oleh William Marsden dalam “The History of Sumatra” pada tahun 1784. Masyarakat tidak menggunakan biji kopi melainkan daunnya untuk diseduh dengan air dalam tradisi yang dikenal sebagai “minum kopi daun”, yang masih berlangsung hingga saat ini. Tradisi ini juga disebutkan oleh Eduard Douwes Dekker (Multatuli) dalam “Max Havelaar” pada tahun 1860.

Pohon kopi berumur 200 – 300 tahun telah dijumpai di bagian selatan Pulau Sulawesi pada tahun 1920, sebelum Belanda memperkenalkan kopi disana pada tahun 1830-an (Antony Wild 2019 dalam “Sunday Times” Srilanka).

(Catatan Editor : Temuan Benito Lopulalan, 2023, bahwa di Sulawesi Tengah, ada Tradisi Minum Kopi Hutan, Golongan Leguminocea, bernama lokal Biji Kopi Galasa yang di goreng menggunakan pasir, sampai sekarang mereka masih minum kopi hutan, galasa tersebut. red.)

Nama

Kata “kopi” masuk ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Belanda “koffie”, diambil dari bahasa Turki Ottoman “kahve”, yang berasal dari bahasa Arab “qahwah”. Asal usul kata Arab “qahwah” tidak diketahui dan etimologinya telah diperdebatkan. Nama ini di Arab tidak digunakan untuk biji atau tanaman kopi (produk daerahnya), tetapi mereka mengenalnya sebagai “bunn”. Jadi, “qahwah” rupanya bukan kata asli bahasa Arab. Ada yang menduga bahwa kata itu berasal dari nama Kerajaan Kaffa di Ethiopia, namun diperdebatkan karena tidak ada catatan sejarahnya, dan bisa jadi justru sebaliknya.

Merujuk pada tradisi “minum kopi daun” di Sumatera dimana pada awalnya mereka belum memiliki pengetahuan tentang pemanfaatan biji kopi sebagai minuman, tradisi ini bisa dikatakan lebih tua dari yang dilakukan oleh orang Arab. Saat ini ada anggapan bahwa tradisi ini disebabkan oleh tanam paksa Belanda dimana semua hasil kopi harus diserahkan kepada Belanda sehingga masyarakat hanya bisa menggunakan daunnya.

Namun anggapan ini ditolak oleh beberapa sejarawan karena tidak adanya bukti faktual.

(Catatan Editor : Kita sudah berhasil mengkonfirmasi kepada Jon Muller, 2023, putera daerah Payahkumbu Sumatera, bahwa tradisi minum daun kopi, daun kawa, memang sudah ada di Payahkumbuh Sumatera, karena Kopinya di ambil Belanda, daunnya di minum orang Sumatera red.)

Nama lokal untuk biji dan tanaman kopi di sana adalah “kawa” atau “kawoa”. Orang berpendapat bahwa nama ini berasal dari bahasa Arab “qahwah”, namun melihat bahwa tradisi mereka tentang pemanfaatan tanaman kopi adalah lebih tua dari yang dilakukan oleh orang Arab maka bisa jadi sebaliknya. Orang Arab telah menjelajahi Sumatera sejak abad ke-7 atau sebelumnya.

(catatan editor, rupa rupanya senada dengan temuan Prof. Rusmin Tumanggor, dalam bukunya bertajuk Gerbang Agama Agama Nusantara, 2012, bahwa “Kilometer Nol Peradaban Islam Nusantara, berkaitan dengan Barus dari Tanaman Barus di Barus Tapanuli Utara, Abad ke 7 red.)

Tujuan utama mereka adalah mencari hasil bumi yang eksotik, seperti kamper, kemenyan dan rempah-rempah, untuk dijual dengan harga tinggi saat dibawa pulang. Di antara semuanya itu, kopi bisa menjadi salah satunya.

Kopi dikenal dengan nama “kawa” pada masa Jawa Klasik atau “kahwa” pada masa Kekaisaran Majapahit. Dengan demikian dapat diduga bahwa “kawa”, “kawoa” atau “kahwa” adalah sebuah kata Melayu atau Jawa Klasik. Orang Arab kemudian menuliskannya sebagai “qahwah”.

Kesimpulannya, peluang para ilmuwan untuk melakukan penelitian tentang muasal kopi masih terbuka lebar.

Dhani Irwanto, Maret 2021.

Di publish ulang, dengan diberi 3 buah catatan editor dan kalimat pengantar dan penutupnya, dari editornya. 10 Januari 2023.

GALERI DHARMA ARJUNA JAWA TIMUR
https://wa.me/message/R7EQHHG5GL2ME1
YT: Indonesia Raya https://youtube.com/channel/UCeUWXULjiQsjlwaWQETmozA
Blogspot : Galeri Dharma Arjuna https://indonesiarayamenggambar.blogspot.com/?m=1

Editor & Aplikator Data : Guntur Bisowarno

Kontributor