Manusia sejak awal penciptaan memang dirancang sebagai mahkluk sosial. Artinya, manusia diciptakan untuk hidup tidak sendirian tetapi bersama yang lain. Maka setelah Adam diciptakan, Allah menciptakan juga Hawa. Maka keberadaan Adam selalu bersama Hawa sebagai penolong yang sepadan. Ini sejalan dengan kata Martin Buber, seorang filosof Yahudi yang mengatakan: ‘KEBERADAAN MANUSIA SELALU BERSAMA DENGAN YANG LAIN’. Atau kata John Donme, seorang penyair Inggris: ‘NO MAN IS AN ISLAND’ (Tak ada seorang manusia yang hidup sendiri bagaikan sebuah pulau terpisah dari yang lain). Maka sebagai mahkluk sosial, orang dalam hidup sehari-hari pasti terlibat dalam aktivitas yang disebut komunikasi ataupun interaksi dengan orang lain. Dalam praktek komunikasi itu, bisa saja lancar, mulus, tidak terjadi masalah. Tentu itu adalah harapan semua orang. Tetapi tidak semua komunikasi atau pun interaksi selalu lancar, mulus, tidak terjadi masalah. Banyak komunikasi/interaksi bermasalah. Yah ini wajar saja karena manusia itu unik. Dua orang yang sedang berkomunikasi punya pendapat/harapan yang berbeda, sehingga jadi masalah. Namun, masalah tidak selalu terjadi karena perbedaan, kadang terjadi karena persamaan, ada kebutuhan yang sama pada waktu/tempat yang sama. Seperti terjadi dalam dunia anak-anak, hanya ada satu mobil-mobilan padahal ada dua anak. Mereka sama-sama mau memainkan pada waktu yang sama. Nah, akhirnya rebutan, terjadi masalah.
Sebagai manusia yang hidup bersama yang lain pun, saya tidak lepas dari masalah. Dua tahun sejak menikah, saya dan isteri tinggal di rumah kontrakan. Selama dua tahun itu, kami bekerja keras untuk bisa segera membeli tanah dan membangun rumah sederhana. Usaha kami ternyata berbuah. Ada banyak pertimbangan dan pemikiran dalam menentukan dimana kami mau membeli tanah. Namun, akhirnya ada dua pertimbangan dan pemikiran yang menjadi acuan penentuan lokasi tanah yang akan kami beli. Pertama: segi keuangan, karena uang kami sedikit, maka kami mencari tanah yang harganya terjangkau. Kedua: kami juga mempertimbangkan jauh dekatnya dengan tempat kami bekerja. Kami berdua, kebetulan bekerja di tempat dan yayasan yang sama. Akhirnya, kami menemukan tanah yang memenuhi kriteria kami: harga terjangkau dan dekat dengan tempat kami bekerja. Kami sengaja mencari tanah yang dekat dengan tempat bekerja dengan alasan apabila transportasi tidak bisa dipakai, kami bisa jalan kaki. Lokasi itu berdekatan dengan sawah, suasana desanya masih kental, namun dekat sekali dengan kota, tempat segala kebutuhan harian tersedia.
Proses jual beli pun akhirnya dilaksanakan, baik secara administratif, pelaksanaan pengukuran tanah dan penanaman batas-batas tanah. Pelaksanaan pengukuran dan penentuan batas-batas tanah dihadiri oleh lurah desa, bayan, RT dan beberapa personil pertanahan, disaksikan oleh warga setempat yang tanahnya berbatasan. Setelah pengukuran, semua sepakat bahwa pengukuran dinyatakan sah dan benar, tidak ada beda pendapat. Beberapa bulan kemudian, kami mulai pembangunan rumah. Kami langsung mendiami rumah itu, meski belum dapat dikatakan rumah jadi, masih banyak kekurangan. Bagian yang mestinya kaca, kami tutup dengan triplek. Bagian atas belum kami pasang plafon/eternit. Listrik belum masuk daerah kami. Kami hanya menggunakan petromax sebagai penerangan dan menggunakan aki untuk menyalakan TV. Sambil jalan kami membangun secara bertahap, agar rumah menjadi rumah yang pantas dan nyaman serta aman ditinggali. Pada suatu waktu, kami ingin menutup bagian belakang rumah, dimana lokasi sumur berada. Sumur itu ada di luar rumah dan akan kami masukkan sehingga di dalam bagian rumah. Maka kami menembok bagian itu, yang berbatasan dengan tanah tetangga yang berada di belakang rumah kami.
Nah, pada saat kami mulai proses penembokan itu, tetangga saya itu protes. Menurut dia, tanah kami melonjok ke tanahnya. Padahal waktu pengukuran, tidak ada protes apa pun, semua setuju. Mulai saat itu, relasi kami dengan tetangga ini menjadi renggang. Bahkan, dia memusuhi kami sekeluarga. Anak-anaknya pun diprovokasi agar memusuhi kami sekeluarga. Niat tidak baiknya pun segera nampak. Bapak ini, sebut saja bapak Timin (bukan nama sebenarnya), memiliki hati yang dengki dengan tujuan menyengsarakan keluarga kami. Suatu saat, kami mempunyai masalah air. Air sumur kami warnanya keruh dan berbau. Maka kami harus mencari air bersih di rumah tetangga lain. Kami harus melewati depan rumah bapak Timin. Kami minta izin untuk lewat depan rumahnya. Tidak direspon. Bahkan, alangkah kagetnya kami, bapak Timin memasang pagar bambu pada perbatasan tanah kami dan tanahnya. Oke-lah. Dia berhak untuk itu. Lalu, kami menempuh jalan lain, yaitu lewat tanah kosong tetangga di sebelah kanan rumah kami. Melihat kami pindah jalan, bapak Timin berulah juga. Dengkinya setengah mati. Dia membuat galian pada tempat kami lewati itu. Pokoknya, dia ingin membuat kami sekeluarga sengsara. Namun, kami tidak mengalah. Kami tetap lewat galian itu meski lebih sulit. Pokoknya dapat air bersih. Eh, melihat kami tetap tabah turun naik galian itu, bapak Timin tambah berang. Dia tega banget membuat kami sekeluarga menderita. Dia buang ke dalam galian itu, kotoran manusia. Dia berharap kami menginjaknya. Kami pantang menyerah. Kaki kami balut dengan plastik. Akhirnya, bapak Timin tambah jengkel melihat kegigihan kami. Apa yang akan dia lakukan lagi, pikir saya? Eh, ternyata dia membuat pagar bambu seperti di perbatasan tanah kami dan tanahnya. Tapi, ini di perbatasan tanah kami dan tanah tetangga di sebelah kanan kami. Bapak Timin sama sekali tidak punya hak untuk menanam pagar di situ. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengundang petugas yang dulu mengukur tanah dan menanam batas-batasnya. Singkat cerita, bapak Timin harus membongkar pagar itu, karena dia tidak punya hak sama sekali membuat pagar di situ. Kami sekeluarga bisa mencari air bersih lewat jalan yang pagarnya sudah dibongkar.
Bapak Timin semakin memusuhi kami. Kami didiamkan (tidak berelasi) selama enam tahun. Kami sekeluarga tidak ada kerugian apa-apa. Bahkan, bapak Timin sekeluarga yang rugi, karena dia tiap malam nonton TV nebeng di rumah kami. Dia tidak mempunyai TV. Bahkan, kalau ada tayangan sepak bola seperti piala dunia, dia semalam suntuk nonton, sementara keluarga kami tidur semua. Sejak dia memusuhi keluarga kami, dia nonton TV pindah ke tetangga lain yang lebih jauh. Meski kami dimusuhi, kami sama sekali tidak berubah sikap. Kami memperlakukan keluarga bapak Timin persis sama seperti sebelum bapak Timin memusuhi kami. Selama didiamkan enam tahun, saya beberapa kali menolong keluarga bapak Timin kalau ada kesulitan/masalah. Pernah suatu hari, anaknya main panjat pohon dan jatuh. Ketiaknya sobek dan berdarah. Saya bawa anak itu ke rumah sakit, beberapa kali sampai sembuh. Tidak ada ucapan terima kasih sama sekali dari bapak Timin. Suatu hari, anaknya sunat. Mereka kesulitan transportasi ke juru khitan. Saya antar anaknya. Bahkan, tiga malam anaknya minta tidur di rumah kami. Selama tiga malam, isteri saya yang merawat. Melalui dua peristiwa ini, bapak Timin tidak lalu baikan kembali dengan kami sekeluarga.
Nah, kali ini Tuhan berkarya baik melalui bapak Timin dan kami berdua (suami dan isteri). Suatu pagi hari, bapak Timin sakit. Dia mengerang kesakitan, sendiri di rumah. Anak-anaknya sekolah. Isterinya bekerja di sawah. Saya dan isteri, mengintip bapak Timin lewat celah anyaman bambu (gedhek) rumahnya. Dia duduk dan tangannya memegangi kepalanya yang dililiti dengan kain. Dugaan saya, dia pasti berharap ada yang menolong, tetapi mungkin gengsi minta tolong kami. Pada situasi seperti itu, saya dan isteri dihadapkan pada ajaran Yesus: ‘KASIHILAH MUSUHMU’ (LUKAS 6:27-36). Ini tidak gampang. Ini berat, bahkan berat sekali. Tetapi, inilah tantangan Yesus yang menantang kami berdua. Kami, disini diuji kemuridan kami. Apakah kami murid Yesus yang sejati atau bukan? Apakah kami hanya pendengar firman atau pelaku firman? Menjadi murid pendengar firman itu gampang. Tetapi, menjadi murid pelaku firman itu tidak gampang. Namun demikian toh kami memilih menjadi murid pelaku firman, dengan pergulatan kami. Di pintu belakang rumah, kami berdua maju-mundur dan maju-mundur, beberapa kali, sebelum akhirnya kami melangkah menemui bapak Timin. Hal itu terjadi setelah kami berdua berdoa mohon kekuatan untuk berani memaafkan segala kesalahan bapak Timin, meskipun dia tidak meminta maaf. Di depan bapak Timin, isteri saya bertanya: ‘Bapak Timin, sampeyan sakit nopo?’ (Bapak Timin, bapak sakit apa?). Boten ngertos nggih, wingi dalu nedi sate huk-huk’. (Tidak tahu ya, kemarin malam makan sate anjing).
Isteri saya menawarkan jamu berupa ramuan. Jamu itu sebenarnya adalah jamu isteri saya untuk mengobati sakit perutnya yang sudah lama dia derita. Jamu itu dari Romo Loogman MSC dari Purworejo. Bapak Timin bersedia menerima. Pagi itu, setelah ibu Timin pulang dari sawah, jamu di rebus dan langsung diminum. Aneh bin ajaib! Sungguh luar biasa! Percaya ndak percaya! Sore itu juga bapak Timin sembuh. Kami kembali mengintip bapak Timin. Dia duduk kembali di tempat yang sama. Kain pengikat kepala sudah tidak dipakai lagi. Dia duduk sambil merokok dan minum teh kental menggunakan cangkit blirik besar. Kami mendatangi bapak Timin dan bertanya bagaimana, apakah jamunya sudah diminum? Dia menjawab sudah dan sakit kepalanya pun sudah sembuh. Ini suatu mukjizat karya Tuhan. Obat sakit perut isteri saya, menyembuhkan sakit kepala bapak Timin. Sejak saat itu, relasi kami baik kembali. Kami tetap peduli terhadap keluarga bapak Timin, meski pun sudah sangat melukai hati kami. Melihat ekonominya yang compang camping, kami merasa iba. Maka kami menawarkan dana untuk sekolah anaknya. Dia menerima dengan senang hati. Kedua anaknya akhirnya mendapat bantuan dari teman lingkungan. Begitu lulus SD, kedua anaknya didanai mulai SMP sampai SMA.
Inilah kekuatan memaafkan, bisa menciptakan ketenangan, ketentraman, kedamaian, kebahagiaan. Pertanyaan bagi kita semua: sudahkan kita saling memaafkan? Atau kita masih menyimpan dalam hati kita dendam kesumat? Marilah kita menjadi murid pelaku firman bukan sekedar pendengar firman. Setiap hari kita selalu diingatkan melalui doa Tuhan, yaitu Bapa Kami: ‘DAN AMPUNILAH KESALAHAN KAMI, SEPERTI KAMI PUN MENGAMPUNI YANG BERSALAH KEPADA KAMI’. Marilah kita hidup dengan positif. Kita buang segala pikiran/emosi negatif, agar kita hidup sehat secara utuh. Sehat fisik, jiwa maupun roh kita. Aswar Saputra dalam bukunya ‘HEALING CODE’, menyatakan ada 82 jenis penyakit, baik fisik maupun psikis yang terjadi berlandaskan emosi-emosi negatif. Menurut saya seperti dalam masalah saya dengan bapak Timin ini, segala masalah bisa diatasi asal kita mau saling memaafkan. Yang sering menghalangi rekonsiliasi adalah ego kita. Kita tidak mau rendah hati untuk minta atau memberi maaf.
Sebenarnya ada contoh, teladan dari tokoh pemaaf baik dari Kitab Suci, maupun dalam kehidupan nyata. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, kisah Yusuf yang dijual dan dibawa ke Mesir sungguh merupakan kisah yang inspiratif bagi kita untuk menjadi pemaaf. Yusuf yang semula akan dibunuh, bisa mengampuni saudara-saudaranya. Dari zaman now, kita juga memiliki contoh keteladanan memaafkan, yaitu Santo Yohanes Paulus II. Dia ditembak oleh Mehmed Ali Agca. Nyaris Yohanes Paulus II terbunuh. Apa yang Yohanes Paulus II ini lakukan ketika sembuh. Dia mendatangi orang yang ingin membunuhnya dan mengampuninya.
Mengakhiri tulisan ini, saya akan mengutip tulisan seorang Reinhold Niebuhr, dia berkata: ‘PENGAMPUNAN ADALAH BENTENG TERAKHIR KASIH’. Semoga kita tetap bisa selalu mengasihi sesama dengan memaafkan segala kesalahannya.
Penulis: Ph. Ispriyanto
Comment