by

MASALAH DARI RUMAH MENCUAT DI SEKOLAH

-Artikel-796 views

Berbicara mengenai masalah atau persoalan, rasanya tidak bisa dipisahkan dari hidup manusia. Bisa dikatakan hidup manusia selalu dikerumuni masalah. Masalah hadir seperti bunyi iklan Coca Cola ‘Siapa saja, Kapan saja, Dimana saja’. Artinya, masalah bisa menimpa semua orang, tidak kenal waktu dan tempat. Keberadaan masalah atau persoalan muncul bersamaan dengan keberadaan manusia. Itu artinya, masalah atau persoalan itu seumur dengan manusia. Ragam masalah atau persoalan pun berwarna warni. Ada masalah keuangan-ekonomi, sosial, pendidikan, politik, hukum, moral, dll.

Sebagai seorang guru yang berkecimpung dalam bidang pendidikan, saya tidak jauh dari masalah pendidikan. Karena setiap hari saya bergaul dan berada atau membaur dengan para anak didik, saya juga bisa melihat masalah atau persoalan yang sedang mereka hadapi. Melihat pergumulan mereka saya tidak tega. Untuk itu, saya tergerak untuk membantu mengatasi masalah mereka dengan menawarkan diri. Bila mereka membuka diri dan menerima tawaran saya, saya akan masuk mendampingi mereka. Bila keberatan, saya tidak akan memaksakan. Namun berdasarkan pengalaman, ternyata lebih banyak yang bersedia menerima tawaran saya daripada yang menolak. Bahkan beberapa siswa atau siswi, justru yang meminta untuk dibantu dalam mengatasi masalah mereka.

Pada kesempatan ini, saya akan bercerita tentang beberapa masalah siswa atau siswi yang saya jumpai di sekolah, dimana saya terlibat langsung mendampingi mereka.

Saya mempunyai seorang siswa, sebut saja namanya ‘Benjo’ (bukan nama sebenarnya). Benjo adalah seorang siswa yang baik. Benjo sangat santun dan menghormati gurunya. Benjo juga akrab dengan teman-temannya. Di kelas bahkan Benjo menjadi tokoh kelas. Benjo pandai menggerakan teman-temannya. Benjo mempunyai banyak ide. Benjo juga memiliki jiwa seni. Sayang diantara hal-hal yang positif itu, Benjo memiliki satu hal yang tidak baik, yaitu ‘ceriwis’. Di dalam kelas, pada saat mengikuti pelajaran, Benjo omong saja dengan teman di kiri-kanan, depan-belakangnya. Banyak guru yang tidak simpati, bahkan sangat tidak senang dengan perilakunya ini. Kalau diperingatkan, paling beberapa saat saja Benjo diam. Lalu mulai berceloteh lagi. Ada beberapa rekan guru yang menyerah dan dibiarkan atau dicuekin saja. Saya pun merasa jengkel juga seperti rekan-rekan yang lain. Setiap orang itu unik, memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Demikian pula guru. Cara menyampaikan teguran, peringatan kepada murid berbeda-beda. Ada yang lembut atau halus, keras atau kasar, emosional atau meledak-ledak, dll. Saya sendiri mempunyai cara dalam memperingatkan murid di sekolah maupun anak kandung di rumah. Cara yang saya pakai adalah ‘Graviter in re, suaviter in modo’ yang artinya ‘Tegas perkaranya, lunak caranya’. Maka pada kasus Benjo ini, saya pada saat istirahat mendekati Benjo sambil berkata: ‘Benjo, mulai besok saya tidak mengizinkan kamu masuk kelas pada saat pelajaran saya. Saya dan temanmu yang lain sangat terganggu dengan omonganmu yang tidak pernah berhenti’. Mendengar apa yang saya katakan Benjo langsung minta maaf dan bertanya pada saya apakah dia boleh datang ke rumah saya? Saya katakan boleh. Ternyata hari itu, sekitar jam lima sore, Benjo datang. Benjo pun mulai bercerita panjang lebar. Kalimat pertama yang keluar dari mulut Benjo adalah: ‘Pak Is, apakah Pak Is tidak keberatan jika saya mengangkat Pak Is sebagai ayah angkat saya?’. Sebuah kalimat yang menimbulkan tanda tanya besar di benak saya. Memangnya ada apa gerangan dengan anak ini? Saya menjawab: ‘Kalau menurutmu saya memang layak untuk menjadi ayah angkatmu, saya tidak berkeberatan’. ‘Terima kasih atas kesediaannya Pak Is’. ‘Kalau begitu saya akan bercerita’ jawab Benjo. Begini Pak Is ceritanya: Sudah agak lama saya dan ayah itu diam-diaman. Lebih tepatnya saya didiamkan, tidak pernah diajak bicara. Tentu ada penyebabnya. Penyebabnya adalah saya, karena saya tidak menuruti ayah. Saya punya kebiasaan mengikuti pelajaran hanya dengan mendengarkan. Saya tidak pernah mencatat. Saya mengandalkan ingatan saya. Hasilnya pun baik. Tetapi jenjang sekolah semakin tinggi kan semakin sulit. Dan saya masih mau mengandalkan ingatan saya dengan tetap tidak mencatat materi pelajaran. Ayah pernah mengingatkan saya: ‘Ben, sekolahmu semakin tinggi akan semakin sulit. Kamu tidak bisa mengandalkan ingatanmu. Materi pelajaran semakin kompleks. Kamu harus mencatat semua materi pelajaran’. Ternyata apa yang dikatakan ayah benar. Nilai-nilai saya turun. Ayah marah sekali dan sejak saat itu, ayah tidak mau berbicara dengan saya. Saya didiamkan. Saya sungguh merasa tidak nyaman di rumah, terutama kalau ketemu ayah. Saya selalu menghindari ayah. Meskipun saya lapar dan ingin makan, kalau saya lihat ayah sedang makan di ruang makan, saya tidak jadi makan. Kalau kebetulan saya sedang makan dan ayah masuk mau makan, saya meninggalkan ruang makan. Saya makan di teras. Saya kehilangan figur ayah. Saya dengan tekun mendengarkan segala keluh kesah Benjo. Setelah semua isi hati ditumpahkan, saya memberi nasihat Benjo. Intinya agar Benjo terus meminta maaf atas kesalahannya dan menunggu dengan sabar sampai ayah Benjo memaafkan. Saya sarankan pada Benjo untuk tidak menghindari ayahnya, dan memulai mencatat pelajaran. Akhirnya, suatu saat ayah Benjo memaafkan Benjo. Relasi Benjo dengan ayahnya baik kembali.

Kali ini kasus seorang siswi, sebut saja namanya ‘Ima’ (bukan nama sebenarnya). Ima adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Dia di rumah hanya tinggal bersama ibunya saja, karena ayah Ima sudah lama berpisah ‘cerai’ dengan ibu Ima. Ayah Ima tinggal di rumah warisan ayahnya (kakek Ima). Sedang kelima kakaknya sudah menikah dan tinggal di tempat lain. Ibu Ima adalah ibu yang kolot dan pola asuhnya otoriter. Jadi, apapun yang dikatakan atau diperintahkan harus dipatuhi, sehingga sering terjadi konflik antara Ima dan ibu Ima. Salah satu konflik yang paling sering terjadi adalah mengenai hal pertemanan. Ima adalah seorang yang supel alias mudah bergaul. Di sekolah, Ima mempunyai banyak teman. Relasi pertemanan Ima dan teman-temannya cukup akrab. Maka, tidak mengherankan kalau banyak teman Ima senang bermain ke rumah Ima. Namun, ternyata kedatangan teman-teman Ima menjadi masalah. Ibu Ima tidak senang dengan kehadiran mereka. Rasa tidak senang ini, sering diungkapkan dengan cara blak-blakan dan vulgar, sehingga teman-teman Ima tidak mau datang lagi. Buntutnya Ima menjadi malu pada teman-temannya. Dia jengkel dan marah juga. Buntut yang lebih jauh, karena teman-temannya tidak datang lagi ke rumah, Ima mendatangi rumah teman-temannya. Ima berkeliling dari rumah teman yang satu ke teman yang lain. Bahkan kadang-kadang bermalam di rumah teman. Nah, sekarang ibu Ima yang memetik buah konfliknya. Ibu Ima banyak ditinggalkan oleh Ima, sehingga menjadi kesepian dan bingung.

Suatu hari, Ima ingin membicarakan masalahnya. Biar bisa lama, syukur bisa tuntas, Ima minta izin untuk menginap di rumah saya. Saya mengizinkannya. Tiba-tiba malam itu, pada jam tiga dini hari ada orang mengetuk rumah saya. Saya dengan sikap waspada membuka pintu, karena ini di luar jam yang lumrah bertamu. Jangan-jangan tamu yang bermaksud jahat. Setelah pintu saya buka, saya kaget karena tamu ini diikuti para peronda RT saya. Para peronda itu bertanya: ‘Pak Guru, niki tamu panjenengan sanes?’ (Pak Guru, ini tamu Pak Guru bukan?). Setelah saya amati, ternyata ibunya Ima (saya sudah kenal). Saya berkata: ‘Inggih, tamu kula’ (Iya, tamu saya). Lalu para peronda kembali ke pos ronda. Mereka khawatir, jangan-jangan itu modus operandi perampokan. Singkat cerita, ibu Ima tidak bisa tidur semalam-malaman karena sendiri. Akhirnya, kami bertiga berbincang-bincang untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Setelah kami membuat kesepakatan-kesepakatan yang disetujui, mereka pulang dan masalah teratasi.

Kasus ketiga ini, dialami oleh seorang siswi juga, sebut saja namanya ‘Riri’ (bukan nama sebenarnya). Kasus ini merupakan kasus yang paling heboh, menggemparkan sekolah. Bagaimana tidak, pada saat pelajaran berlangsung di kelas, Riri secara tiba-tiba mengiris urat nadi tangan sebelah kirinya dengan silet. Darah pun segera muncrat, mengenai baju dan gaun ibu guru yang sedang mengajar. Suasana kelas pun menjadi riuh oleh jeritan, terutama siswi yang ngeri, ketakutan melihat kejadian itu. Riri segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan. Usai perawatan di rumah sakit, Riri dibawa kembali ke sekolah dan dimasukkan di ruang kerja kepala sekolah untuk didampingi agar masalahnya dapat diselesaikan. Kepala sekolah pun mulai menghadirkan wali kelas untuk mendampingi, tetapi Riri bungkam. Kemudian guru bimbingan dan konseling, tetapi Riri juga tetap diam. Orang ketiga yang didatangkan adalah wakil kepala sekolah urusan kesiswaan, hasilnya idem. Akhirnya, kepala sekolah sendiri yang mau mengorek masalah Riri, namun Riri sama sekali tidak bereaksi. Kepala sekolah pusing juga, namun dia orangnya sabar, bijak dan mempunyai wawasan yang luas. Kepala sekolah berkata pada Riri: ‘Oke, kamu tidak mau bicara kepada kami berempat. Saya memberi kamu kesempatan terakhir. Coba katakan kepada saya, kamu bersedia berbicara dengan siapa? Jika orang itu dalam jangkauan atau bisa saya datangkan ke sini saat ini, saya akan datangkan’. Riri menjawab dengan menulis pada secarik kertas ‘Pak Is’. Segera kepala sekolah menemui saya. Pada waktu itu, saya sedang mengajar di lantai II. Kepala sekolah masuk ke kelas dan berbisik kepada saya: ‘Pak Is, tolong Pak Is tinggalkan kelas ini, biar saya yang mengajar. Masuklah ke ruang kerja saya. Disana, ada seorang siswi yang ingin bicara dengan Pak Is’. Saya segera menuju ke ruang kerja kepala sekolah. Saya dapati Riri duduk dengan meletakkan wajahnya di meja. Saya pura-pura tidak tahu. Saya bertanya: ‘Boleh tahu, ini siapa ya? Apakah benar kamu ingin bicara dengan saya? Kalau benar, tolong tunjukkan wajahmu!’. Lalu Riri mengangkat wajahnya sambil berkata: ‘Saya Riri, Pak Is’. Lalu Riri bicara panjang lebar tentang masalahnya. Inti permasalahan pun ketemu, yaitu masalah pacaran. Mama Riri sama sekali tidak memberi Riri waktu untuk berpacaran. Pokoknya Riri hanya harus belajar titik. Setelah kami bertiga omong-omong, masalah pun menjadi cair.

Setelah lulus, saya tidak pernah bertemu Riri. Eh, suatu saat teman dekat saya mengajak saya untuk wisata ke gunung Kelud. Wisata diadakan oleh kelompok jalan jantung sehat ‘NGISOR WARU’. Nama kelompok itu ‘NGISOR WARU’ karena tempat berkumpulnya di bawah pohon Waru. Begitu saya melangkah masuk bus, saya disapa seseorang, suaranya sih cewek. Ternyata, itu suara Riri yang duduk persis di belakang sopir. Dia bersama mama dan pacarnya yang dulu jadi masalah. Saya senang bahwa akhirnya mereka masih berpacaran dan berpacaran secara sehat dan dewasa.

Ketiga masalah yang saya ceritakan, semua adalah berasal dari rumah, namun mencuat di sekolah. Semoga dalam keluarga, terjadi komunikasi yang baik dan harmonis antara orangtua dan anak-anak. Ciptakan iklim yang dialogis dan demokratis. Lebih-lebih bila ada persoalan, hendaknya dikomunikasikan agar tidak jadi masalah. Memang tidak mudah tetapi tetaplah tabah.

 

Penulis: Ph. Ispriyanto

Kontributor

Comment

Leave a Reply