Wartaindonews — Saya pernah mempunyai seorang siswi, sebut saja Dahlia (bukan nama sebenarnya). Dahlia tinggal di kota kecil K. Tiap pagi, Dahlia naik bus ke Solo untuk bersekolah. Baru sore harinya Dahlia sampai di rumah lagi dalam keadaan sudah lelah. Dahlia biasanya lalu beristirahat. Sambil istirahat atau bersantai itu, Dahlia selalu ingin ngobrol ‘curhat’ dengan mamanya, karena mamanya adalah satu-satunya orangtua bagi Dahlia. Papanya bercerai dengan mamanya ketika Dahlia masih dalam kandungan dan sekarang entah dimana. Sampai saat itu, Dahlia belum pernah bertemu dengan papanya.
Namun, mama Dahlia rupanya bukan seorang pendengar yang baik, begitu pula kakaknya. Mereka tak peduli pada Dahlia. Merasa tidak diperhatikan di rumah, Dahlia lalu mencari penghiburan di luar rumah. Dahlia sering main ke rumah teman dan pulangnya malam. Mama Dahlia tidak suka ini, karena menurutnya kebiasaan main ini dapat mengganggu belajar atau sekolah Dahlia. Akhirnya, mama Dahlia melarang Dahlia pergi ke rumah temannya.
Dahlia merasa seperti menghadapi jalan buntu. Di rumah, mama dan kakaknya tidak bisa diajak bicara, tapi mau main ke rumah teman tidak boleh. Satu-satunya saluran komunikasi yang tersedia adalah telepon. Maka, Dahlia sering menelepon teman-temannya. Salah satu ‘teman’ yang sering ditelepon, hampir tiap malam, adalah seorang laki-laki. Mama Dahlia tahu dari cara Dahlia bicara. Mama Dahlia mengira laki-laki itu adalah pacar Dahlia. Entah bagaimana, akhirnya mama Dahlia berhasil mencatat nomor telepon laki-laki yang sering dihubungi itu.
Untuk menanggulangi ‘kebadungan’ Dahlia, mama Dahlia pergi ke sekolah Dahlia untuk melaporkan perilaku Dahlia yang dinilai mama Dahlia sudah kelewatan. Mama Dahlia menemui wali kelas Dahlia yang tak lain adalah saya sendiri. Setelah memperkenalkan diri, mama Dahlia mengutarakan maksud kedatangannya ke sekolah. Mama Dahlia bercerita panjang lebar perihal Dahlia. Dan akhirnya, mama Dahlia melaporkan bahwa akhir-akhir ini Dahlia sering sekali menelepon seseorang yang diduga adalah seorang laki-laki dan mungkin sekali adalah pacar Dahlia. Sambil bercerita demikian, mama Dahlia menunjukkan rekening telepon yang menurutnya ‘membengkak’. Mama Dahlia juga menunjukkan nomor telepon yang berhasil dicatatnya.
‘Ini Pak Is, nomor telepon yang sering sekali dihubungi Dahlia’. Melihat nomor telepon yang disodorkan itu, hati saya geli sebetulnya karena itu adalah nomor telepon rumah saya. Tapi saya mau tertawa tidak tega karena mama Dahlia kelihatan sangat serius. Untuk memastikan saya bertanya, ‘Betul ini bu, nomor telepon yang sering dihubungi puteri ibu?’. Mama Dahlia menjawab dengan serius, ‘Betul, pak!’.
Lalu pelan-pelan saya katakan bahwa nomor telepon itu adalah nomor telepon rumah saya. Mama Dahlia melongo, setengah heran setengah malu. ‘Oooh… jadi ini nomor telepon rumah Pak Is to?’. Wajah mama Dahlia agak memerah. Namun setelah rasa malunya surut, mama Dahlia ingin sekali tahu apa saja yang diobrolkan Dahlia ketika menelepon saya. Saya balik bertanya, ‘Apakah ibu siap mendengarkan?’. Ketika mama Dahlia mengangguk, saya lalu mulai bercerita tentang apa saja yang Dahlia obrolkan dengan saya kalau Dahlia menelepon saya. Intinya sederhana: Dahlia hanya minta perhatian dari mamanya karena papanya tidak ada dan kakaknya tidak begitu cocok. Dahlia butuh teman curhat, butuh teman untuk berbagi, butuh seseorang yang mau mendengarkan. Hanya itu.
Kebutuhan dasar seorang anak adalah: diterima, didengarkan, dibimbing dengan cara asih, asah, asuh dan didukung agar pribadinya berkembang.
Penulis: Ph. Ispriyanto.