Wartaindonews, Amsterdam – Sudah sebulan lebih tiap akhir pekan di pintu kedatangan Schipol Airport itu ada seorang lelaki tua yang berdiri di antara para penjemput penumpang pesawat Garuda yang terbang dari Jakarta.
Matanya selalu tertuju pada setiap penumpang yang keluar dari pintu kedatangan, terutama penumpang perempuan. Persis di depan pintu keluar itu ada sebuah cafe yang biasa dikunjungi para penjemput sambil menunggu kedatangannya. Dan jika sudah lelah pak tua itu pesan kopi sebelum pulang.
Seorang mahasiswi cantik yang bekerja paruh waktu sebagai pelayan cafe itu tidak dapat menahan keingintahuannya. Sambil menyajikan secangkir kopi untuknya bertanya:
“Bapak sedang menjemput seseorang? Ini minggu kelima Bapak di sini tanpa bertemu seseorang.”
Dengan lesu lelaki tua itu menjawab:
“Tidak saya tidak sedang menjemput seseorang, tapi saya ingin melihat seseorang dari Indonesia”.
“Siapa yg ingin Bapak lihat, saudara kah?”
“Aku ingin melihat siapa saja, tapi perempuan.”
“Bukankah sudah banyak perempuan Indonesia yg keluar dari pintu sejak lima minggu yg lalu?”
“Memang, tapi bukan mereka semua yang ingin aku lihat.”
“Lantas? “
Sambil mengeluarkan sebuah foto lelaki tua itu berkata, “Aku ingin melihat perempuan yang berbusana seperti ini.”
Gadis cantik itu mengamati foto itu dengan seksama sambil memuji kecantikan dan keindahan busananya.
“Woow wat a mooi Meisje, ini busana apa?”
“Kain-kebaya, pakaian kebanggaan kami bangsa Indonesia. Terakhir saya melihat perempuan berkebaya ini setengah abad yang lalu, di pernikahan kakak perempuanku.”
“Wah sudah setengah abad yang lalu, lamaaaa sekali”, kata gadis itu.
“Iya saya sudah tujuh puluh tahun, sebelum mati saya ingin melihatnya,” lelaki itu mulai berkaca kaca dan penuh harap.
“Iya semoga minggu depan Bapak bisa menemukan perempuan Indonesia berkebaya”, kata gadis menghibur.
Di minggu ke sepuluh, lelaki tua itu masih menunggu. Namun kelesuan semakin tampak di raut wajahnya. “Mungkin aku harus ikhlas menerima kenyataan dunia yang telah berubah”.
Kegetiranpun mulai terasa. Ia punya dendam pada Indonesia yang telah membuang anak bangsanya sendiri, walaupun hal itu tidak pernah bisa menguburkan kecintaanya pada budaya Indonesia. Namun rupanya Indonesia yang ia cintai telah berubah, mereka sudah berubah selera. Lelaki tua itu merasa cintanya telah terkikis habis.
Ia pun merebahkan tubuhnya kembali di kursi cafe, pandangannya masih tertuju pada pintu keluar kedatangan, namun kosong.
Tiba-tiba matanya terbelalak, di depannya telah berdiri sosok anggun berkebaya hitam dengan konde ya rapi memegang secangkir kopi.
“Meneer dit is jou koffie, alstublief.”
Dengan senyum manis perempuan itu menyilahkan kopi hangat untuk lelaki tua itu.”
Setelah sekian lama menatap baru ia menyadari bahwa perempuan bule berkebaya itu adalah gadis yang sama yang melayaninya setiap minggu di kafe itu.
Mata lelaki itupun mulai membasah, air matanya menetes. Diraihnya dua tangan si gadis berkebaya itu, sambil berusaha beranjak berdiri.
Si gadis itu perlahan berkata, “Maafkan aku, aku tidak secantik dan seluwes di fotomu itu, hanya ini yang bisa kulakukan untuk menghargai cintamu yg besar pada budayamu”.
Lelaki tua itu tak bisa berkata kata lagi, tubuhnya makin bergetar, dan gadis itu memeluknya dengan hangat.
Amsterdam, 14 Juli 2019 (Prof. Sri Margana)
Comment