by

Kerasulan Telinga

-Artikel-1,555 views

Wartaindonews — Kita berbicara supaya dimengerti dan kita mendengarkan supaya mengerti. Berbicara dan mendengarkan merupakan dua aspek utama di dalam aktivitas yang disebut ‘komunikasi’. Untuk kepentingan berkomunikasi itu, Tuhan memberi kita alat untuk berbicara yang disebut ‘mulut’ dan alat untuk mendengarkan yang disebut ‘telinga’. Tiap hari kita pasti menggunakan mulut dan telinga untuk berkomunikasi. Sebagai makhluk sosial, mau tidak mau manusia harus berkomunikasi dengan orang lain. Dengan kata lain, dari hari ke hari, bahkan dari menit ke menit,  kita terlibat dalam kegiatan yang sangat mendasar dan manusiawi, yaitu berbicara dan mendengarkan. 

Berbicara mengenai ‘berbicara dan mendengarkan’, rupanya lebih banyak orang yang suka berbicara daripada mendengarkan. Konon, itulah sebabnya Tuhan memberikan satu mulut, tetapi dua telinga kepada kita, karena mendengarkan jauh lebih sulit daripada berbicara. Mungkin ada orang yang berkomentar: ‘Ah masa iya mendengarkan itu sulit. Asal kita diam pada waktu orang lain berbicara ‘kan sudah cukup’. Sekilas nampaknya komentar itu benar, tetapi mendengarkan yang sungguh – sungguh tidak cukup hanya asal kita tidak bicara, karena mendengarkan yang sungguh – sungguh mencakup banyak aspek. Mendengarkan yang baik berarti tidak hanya membuka telinga, namun juga membuka hati, perasaan dan pikiran. Dengan kata lain, kita mendengarkan dengan ‘seluruh pribadi’ kita. 

Dewasa ini di dunia yang sibuk, cepat dan hingar bingar, ‘komunikasi dari hati ke hati’ dimana mendengarkan menjadi faktor utama menjadi semakin sulit. Komunikasi yang sungguh – sungguh personal menjadi semakin jarang terjadi.  Bahkan dalam hidup keluarga pun komunikasi dari hati ke hati yang bersifat personal itu menjadi barang langka. Contohnya, tidak adanya komunikasi antara orangtua dan anak karena orangtua sibuk mencari uang. Alangkah memprihatinkannya dampak yang diakibatkan oleh tiadanya komunikasi dari hati ke hati itu. Banyak anak menjadi merana dan kesepian karena merasa tidak didengarkan, terutama justru oleh orangtua mereka sendiri.

Mengenai kenyataan bahwa orang bisa sangat merana dan kesepian jika tidak didengarkan, saya mempunyai sebuah pengalaman yang menarik. Saya mempunyai siswi, sebut saja namanya Mawar. Ayahnya seorang perantara jual – beli rumah, tanah, mobil (istilahnya makelar atau pialang). Ibunya seorang pengusaha warung makan. Sejak pagi, Mawar tidak bertemu dengan orangtuanya. Pertemuan terjadi baru pada malam hari setelah ibunya menutup warung makan. Ketika ibunya pulang, Mawar sudah menunggu di sofa. Harapannya hanya satu: dia bisa duduk dekat ibunya dan bisa bercerita tentang pengalaman hari itu sambil bermanja – manja. Dia mulai menyandarkan kepalanya ke bahu ibunya dengan manja. 
 
Tetapi ketika dia baru mau mulai bercerita, ibunya mendorong Mawar agar menjauh dan tidak mengganggunya, sambil berkata: ‘Sik, to nik! (Sebentar ya nak!). Lihat itu bawangnya belum diapa-apakan. Wortelnya belum dikupas. Kubisnya juga belum dirajang’. Kata – kata seperti itu bagi Mawar merupakan ‘menu harian’ yang setiap kali ‘dilahap’-nya pada saat dia ingin didengarkan oleh ibunya. Karena kekurangan dan kekeringan cinta (marasmus) dan merasa harga dirinya kurang berarti dibandingkan bawang, wortel dan kubis, Mawar akhirnya pergi meninggalkan rumah tanpa pamit alis minggat. Kebetulan yang dituju adalah rumah saya. Mawar pun akhirnya menginap di rumah saya selama empat malam. 
 
Selama Mawar tinggal di rumah saya, saya setiap hari berusaha mengundang orangtuanya untuk datang dan bersama mencari akar masalahnya dan lalu mencari jalan keluarnya. Akar masalah mengapa Mawar meninggalkan rumah akhirnya ditemukan, yaitu: orangtua tidak rela menyediakan diri untuk mendengarkan anaknya, Mawar. Orangtua Mawar merasa cukup bertanggung jawab dengan memfasilitasi kebutuhan fisiknya: sandang, pangan, sepeda motor. Mereka lupa memberi gizi untuk jiwanya. Kebutuhan jiwa berupa perhatian tidak bisa digantikan oleh seperangkat barang – barang. 
 
Jean Varnier, pendiri komunitas L’Arche, yaitu komunitas orang – orang cacat, pernah berkata: ‘Telinga adalah jalan masuk ke hati’. Dengan mendengarkan berarti kita memberi perhatian. Dengan bersedia mendengarkan orang yang mau berkeluh kesah, curhat, sharing dengan kita, sebenarnya kita sudah ‘merasul’. Artinya, kita meneladan para rasul yang mau berkarya, berkorban untuk kesejahteraan, kebahagiaan orang lain. ‘Kerasulan Telinga’ dengan demikian berarti bahwa kita bersedia berkorban dengan cara menjadi pendengar yang baik, yang sungguh – sungguh, yang responsif bagi orang – orang yang membutuhkan dukungan moril atau perhatian kita. Dengan menceritakan masalahnya, orang yang sedang dirundung duka, yang sedang stress, yang sedang putus asa, akan merasa ringan. Dia merasa beban jiwanya telah berkurang, karena dia sudah membagikannya kepada kita. Dia juga merasa ada teman, setidaknya orang lain yang mengetahui beban berat yang sedang dipikulnya. Jadi, dia tidak merasa sendirian lagi di dunia ini. Dengan bercerita kepada orang lain, orang juga bisa menjadi gembira. Bukankah ada pepatah yang mengatakan: ‘Ceritakanlah kesedihanmu, maka kesedihanmu akan berkurang separuh. Ceritakanlah kegembiraanmu, maka kegembiraanmu akan menjadi dua kali lipat’. 
 
Sebagai penutup, marilah kita renungkan dan praktekkan kata-kata bijak: ‘Berikanlah hartamu separuh saja kepada anak – anakmu, tetapi berikan waktumu dua kali lipat kepada anak – anakmu’. Itu berarti bahwa kita diminta untuk memberi perhatian penuh kepada anak – anak kita. Dan salah satu cara terbaik untuk memberi perhatian adalah dengan mendengarkan sepenuh hati keluhan maupun cerita anak – anak kita. Hal ini sangat sesuai dengan kehendak Tuhan, ‘Siapa mempunyai telinga untuk mendengarkan, hendaklah ia mendengar’. (Lukas 14:35). Untuk itu, sebagai orangtua, marilah kita mulai mendengarkan anak – anak kita dengan seksama.

 

Penulis: Ispriyanto

Kontributor

Comment

Leave a Reply