Tiap manusia beraktifitas tiap hari untuk mencukupi apa yang menjadi kebutuhannya beserta dengan keluarga. Sebagai insan profesional tentunya mempunyai hak untuk mendapatkan gaji atau bayaran, entah itu bersifat bulanan, harian ataupun kontrak. Gaji yang ia dapat dipakai sebagai pegangan hidupnya untuk dapat meneruskan eksistensi kehidupannya. Lain halnya apabila yang dimaksud adalah kerja sosial, yang bersangkutan tentunya tidak akan mendapatkan pendapatan dari kegiatan tersebut.
Kita sadari bahwa tingkat kepuasan manusia tidak batasnya. Diambil dari teori kepuasan konsumen atau manusia oleh Abraham Maslow. Bilamana seseorang sudah pernah mendapatkan suatu kondisi yang diinginkannya maka kondisi tersebut tidak akan berlaku untuk selamanya. Justru orang itu ingin mendapatkan suatu kondisi yang satu tingkat diatas dari kondisi yang telah ia terima, begitu seterusnya. Lokasi tempat ia bekerjapun juga termasuk indikator didalamnya. Di Solo orang mendapatkan gaji tiap bulan sebesar Rp. 4 juta sudah termasuk besar, tetapi apabila orang tersebut bekerja di Jakarta Rp. 4 juta tersebut tergolong kecil. Terlebih lagi apabila orang tersebut bekerja di daerah Indonesia bagian timur, hampir semua kebutuhan pokok manusia akan lebih mahal harganya karena kendala distribusi.
Dengan pendapatan yang dapat dikatakan tetap dihubungkan dengan kebutuhan yang sangat dinamis alias selalu meningkat, akan menimbulkan keresahan tersendiri baginya. Seringkali kita mengkalkulasi dana sekian dikaitkan dengan kebutuhan keluarga yang terus meningkat dirasa tidak akan bisa mencukupi. Nilai kehidupan tidak dapat diukur dengan ilmu pasti, karena sekali lagi kehidupan sifatnya sangat dinamis. 1 + 1 = 2 adalah menurut ilmu sains tetapi apakah kehidupan hanya sebatas sains? Tidak. Disampaikan melalui bahasa promosi dalam perdagangan, 1 + 1 dapat dihasilkan jawaban 3 dan sebagainya.
Disamping itu kita juga mengenal inflasi yang secara sederhana dapat diartikan sebagai penurunan nilai mata uang domestik terhadap mata uang luar negeri, Dollar Amerika Serikat misalnya. Dana sebesar Rp. 1 juta di tahun 1970-an tentunya sangat bernilai, bahkan dengan uang sekian sudah dapat membeli sebuah mobil baru. Tetapi uang sebesar Rp. 1 juta di tahun 2020 hanya cukup untuk membeli satu spion mobil saja. Belum lagi adanya wacana redenominasi Rupiah, yang sekiranya hanya akan menghantam sisi psikologis masyarakat saja karena wacana ini hanya menyederhanakan dan mengubah nominal nilai Rupiah tanpa memotong daya belinya. Misal kita mempunyai uang sebesar Rp. 100.000,- apabila terkena redenominasi akan berubah menjadi 10.000,- saja tetapi nilai kegunaan uang tersebut masih setara dengan Rp. 100.000,-.
Secara ajaib dan tidak akan dapat dijelaskan oleh ilmu pasti, dengan dana sekian ia dapat mencukupi kebutuhan keluarganya bahkan masih dapat menyisihkan sejumlah dana untuk ditabung. Dengan segala macam tekhnologi alat penghitungan ilmiah yang telah ada perhitungan yang seperti itu tidak akan pernah terjadi. Kehidupan tidak didasari pada sebatas angka, kehidupan adalah fluktuatif apapun dapat terjadi karena kuasa-Nya. Ada baiknya apabila kalkulator terkait Hukum Ekonomi dipinggirkan terlebih dahulu terkait kehidupan.
Khawatir, ragu-ragu, stress serta cemas sangat umum dalam kesibukan manusia. Bagi beberapa orang kecemasan jarang terjadi tetapi bagi yang lain kecemasan merupakan hal berantai dari kesusahan. Kurangnya intensitas istirahat hanya akan meningkatkan rasa kecemasan, kekhawatiran dan membuang-buang energi saja. Sebab kalkulator yang kita pegang saat ini adalah sebuah kalkulator yang rusak, hanya akan menampilkan angka-angka dari hasil pemrosesan matematika. Sedangkan kalkulator yang Ia pegang adalah sebuah super kalkulator yang tidak hanya akan menampilkan angka-angka semata. Hanya proseslah yang membedakannya. Bersediakah kita diproses-Nya dengan sebuah kalkulator yang menghasilkan output dan angka-angka yang tidak masuk akal?
Penulis: Yudhi Widyo Armono, SE, SH, MH
Comment