Perihal BANJIR BALI inilah telaah dan kajian Kita
Kalau tidak terjadi cuaca yang terlalu ekstrim, Bali sebetulnya bukanlah daerah banjir. Tetapi sejak 15 atau mungkin 20 tahun terakhir beberapa daerah di Bali sudah semakin akrab dengan banjir dengan skala luasan dan intensitas yang semakin membesar setiap tahunnya.
Tahun ini hampir seluruh kawasan di Bali mengalaminya dengan kerusakan-kerusakan yang cukup parah termasuk memakan korban jiwa.
Sedih, prihatin atau mungkin gemas. Itulah yang kita rasakan bersama. Tetapi apakah itu cukup?
Apakah sih sebenarnya yang terjadi dengan pulau kita ini? Pulau yang terkenal dengan kekayaan peradaban dan bentang alam yang permai.
Dari pandangan saya, ada 3 soal utama yang menjadi penyebab semakin gampangnya pulau kita diobrak-abrik bencana banjir.
3 Penyebab Pulau Bali diobrak abrik Bencana Banjir :
Yang Pertama :
Adalah semakin tipisnya pemahaman kita akan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan.
Kita selalu bangga dengan konsep Tri Hita Karana yang substansinya adalah menjaga harmoni termasuk menjaga harmoni dengan alam. Tetapi tampaknya kita semakin tidak punya keperdulian akan konsep menjaga harmoni dengan alam itu. Kita berperilaku seolah kita adalah penguasa alam dimana alam bisa kita perlakukan seenak perut kita. Bukan sebagai bagian dari alam yang secara bertanggung jawab harus kita jaga kelestariannya karena kita adalah bagian dari alam itu sendiri.
Seorang teman, INengah Sumerta dengan cukup geram menuliskan tentang semakin tipisnya pemahaman kita tentang menjaga harmoni dengan alam ini. https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10220957321261698&id=1201166612
Adik saya Gede Kresna juga menuliskan dengan tandas keprihatinannya.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10224713373595014&id=1031799329
Tri Hita Karana itu tinggal hanya menjadi konsep dan wacana pemanis bibir saja, yang selalu kita banggakan tetapi semakin kita tinggalkan dalam perilaku kita.
Yang Kedua :
Adalah tidak adanya regulasi tata ruang detail yang memadai. Saya tidak tahu apakah semua daerah tk II di Bali mempunyai perda detail tentang tata ruang itu. Kalaupun punya apakah sinkron dengan perda tk I nya? Atau apakah sudah dijalankan dengan cermat dan tegas?
Saya ragu tentang soal itu melihat begitu mudahnya orang membangun di daerah-daerah yang harusnya menjadi daerah kawasan hijau atau tangkapan air atau membangun di daerah-daerah dengan kemiringan ekstrim dan juga begitu mudahnya proses alih fungsi lahan, serta mudahnya ijin pengeboran air tanah.
Soal regulasi ini juga semakin di rumitkan oleh banyaknya instansi yang mengurusi kawasan yang sama tanpa ada koordinasi yang bersinergi sehingga yang terjadi adalah malah ketumpang tindihan.
Yang Ketiga :
Adalah, kita semua, semua stake holder, dari rakyat sampai pemerintah, secara bersama-sama sedang bergerak atau bergeser dengan penuh kesadaran dari masyarakat yang komunal sosialistik menuju masyarakat yang individual kapitalistik.
Semua aktifitas yang berkaitan dengan alam, semuanya bertendensi eksploitatif dan keuntungan ekonomi.
Saya mempunyai contoh kongkrit tentang soal ini.
Kami, Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (MADT) mempunyai kawasan suci seluas 1300 Ha yang terdiri dari danau Tamblingan dan alas Mertajati. Kawasan isuci kami ni adalah bagian dari Cagar alam Batukaru yang luasnya 16.000 Ha. CA Batukaru ini adalah sumber air bagi 1/3 pulau Bali. Sejak 2014, sebagian CA Batukaru ini seluas 1800an Ha (termasuk kawasan suci kami) diturunkan statusnya oleh KLHK (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dari kawasan lindung menjadi TWA (Taman Wisata Alam).
Maka investorpun kemudian berlomba-lomba berdatangan ingin berinvestasi untuk membangun fasilitas-fasilitas pariwisata di hutan suci kami (sampai sejauh ini kami masih bisa menggagalkannya). BKSDA kemudian juga mengkomersilkannya dengan cara menjual karcis masuk.
Pemda Buleleng juga tidak mau ketinggalan untuk ikut juga menjual karcis.
Ketika kami melihat kualitas kawasan suci kami semakin terdegradasi akibat eksploitasi berbaju peningkatan ekonomi ini, maka kamipun sejak 2019 berjuang agar kawasan suci kami ini dikembalikan posisinya sebagai hutan adat.
Leluhur kami berpesan bahwa kawasan suci kami adalah sumber utama hidup kami, tidak boleh di utak atik. Upaya survivalitas hanya boleh dilakukan diluar kawasan. Untuk itu maka kawasan tersebut kami sucikan. Dengan disucikan maka semua level konservasi sudah lewat sebetulnya.
Apakah perjuangan kami sudah berhasil? Masih jauuuuh.
Hambatan terbesarnya justru dari pihak pemerintah. Akan terlalu panjang ceritanya kalau dituliskan disini.
Apakah bencana ini hanya kita tangisi saja? Atau hanya berprihatin saja? Atau gemas saja?
Semua stake holder harus nyiksik bulu, mulat sarira dan bertindak nyata sebelum situasi akan bergerak semakin parah.
Salam dari desa.
Penulis : Putu Ardana
Editor : Guntur Bisowarno