Wartaindonews, Malang – Perempuan dewasa atau yang telah “matang (mature) ” — baik matang secara fusik (physical maturation) ataupun matang secara sosial (social maturation) — acapkali diberi sebutan “ibu”, dan disapa dengan “bu” atau bisa juga “buk”. Dalam konteks penyebutan ini, aspek kedewasaan atau kematangan (fisik maupun sosial) menjadi indikator utama.
Meski masih terbilang muda, namun jika tampil dewasa dan terkesan matang, maka acap dibilang sebagai “keibuan”, dan sebaliknya. Terlebih lagi bila telah menikah, memiliki anak, memangku jabatan, atau menempati posisi sosial lumayan tinggi. Wanita yang telah menikah disapa dengan “bu + nama suami”. Misal “Bu Bambang”. Bila telah mempunyai anak, dipanggil dengan “bu” untuk mbasake (membahasakan) anaknya.
Pada etnik Jawa saja, selain sebutan “Ibu”, juga terdapat sebutan “mak atau emak, mbok atau embok ataupun simbok, biyung, biyang, nyai (nyi), dan juga bibi”. Kata ibu telah digunakan dalam bahasa Jawa Kuna maupun Tengahan, dalam arti : ibu, sapaan untuk perempuan siapa pun. Kata jadian “mebu (ma + ibu), makebu (maka + ibu)” berarti : mempunyai sebagai ibu (Zoetmulder, 1995:376).
Sekalipun dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia hari ibu lebih diperingati sebagai salah satu peringatan Kongres Wanita Indonesia pertama 22 Desember. Pemilihan berdasarkan sejarah bahwa pada tanggal tersebut berlangsung pertemuan pertama seluruh organisasi wanita Indonesia di Yogyakarta tahun 1928
“Maka kali ini Kampung Budaya Polowijen 21Desember 2019 menggelar acara Hatur Agung diawali dengan Sarasehan Budaya dengan Tema tema Ken Dedes Sebagai Wanita Utama Jawa dengan narasumber Dwi Cahyono Akelog Malang, Suroso Busayawan Malang dan Edi Widjanarko Anggota DPRD Kota Malang. Dwi Cahyono menyampaikan “Kalo RA Kartini di peringati sebagai tokoh perubahan perempuan secara nasional, kenapa tidak Ken Dedes kita peringati sebagai ibunya ibu dan tokoh wanita utama jawa”, ungkap Ki Demang Penggagas KBP.
“Hatur Agung Kagem Biyung sengaja di gelar di situs Ken Dedes dan Taman Ken Dedes karena icon dan simbolisasi keberadaan Ken Dedes sebagai ibu, karena yang oleh masyarakat sekitar. Kata “biyung” sering diucapkan lebih singkat menjadi “yung” atau “iyung” didapati dalam bahasa Jawa Baru, yang menunjuk kepada : orang tua perempuan, ibu. Kata jadian “biyungen” mengandung arti : selalu rindu kepada ibunya (Mangunsuwito, 2013:263). Kali ini KBP mengangkat kembali Ken Dedes sebagai tokoh wanita utama jawa dan itu berasal dari Malang”, Tandas Ki Demang
Dalam sarasehan budaya tersebut Dwi Cahyono merasa berkepentingan bersama KBP untuk mengajukan Ken Dedes sebagai tokoh sejarah perempuan yang mendapat predikat sebagai” Wanita (sri) Utama” adalah Ken Dedes, yang di dalam kitab gancaran “Pararaton” dinyatakan sebagai “strinaneswari (stri- nara-iswari). Keutamaannya bukan hanya karena merupakan parameswari dari raja Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi (Ken Angrok),
Namun sekaligus menjadi ” ibu sekalian raja”, baik raja-raja di Kerajaan Tumapel maupun raja-raja di Kerajaan Majapahit — sebagai kerajaan “pelanjut” Tumapel (Singhasari)”. Ibu utama Ken Dedes menjadi “orang model” Masa Hindu- Buddha, yakni model tentang “wanita [sekaligus] ibu utama”, yang cantik (ahayu, sulistya), baik wadag (fisiografis)-nya — diibaratkan sebagai melebihi kecantikan dari Hyang Sasadara (Rembulan), dan sekaligus cantik kepribadiannya (inner beauty) — diibaratkan dengan mendapatkan ” karmamadangi (perilaku yang tercerahkan)”. Ken Dedes adalah sosok “wnitotomo (wanita utomo)” dari masa lalu. Tungkas Dwi Cahyono
Sarasehan Hatur Agung Kagem Biyung yang di Gagas Oleh KBP ini yang di hadiri oleh warga dan para pegiatan cagar budaya Malang Raya ini menjadi penanda gerakan perempuan bahwa malang menjadi episetrum dari tokoh tokoh perempuan hebat . Tokoh perempuan lain di Malang seperti kusumawardani dan Proboretno Istri panji pulang jiwo. (Ki Demang)