Wartaindo.news – Semarang, 7 Februari 2019.
”Hormati Gurumu, sayangi teman, itulah tandanya kau murid budiman….” (Lagu “Pergi Belajar”: Ibu Sud).
Lagu ini sangat terkenal di tahun 1960-an. Bahkan, mereka yang bersekolah di tahun-tahun itu, masih mengingatnya dengan baik, dan banyak yang masih bisa menyanyikannya.
Sampai dengan pertengahan tahun 1970-an lagu ini masih cukup populer. Tetapi, perlahan-lahan lagu ini seperti “menghilang”. Anak-anak yang bersekolah saat ini, kemungkinan tidak lagi mengenal lagu ini. Kecuali, orang tuanya mengajarkannya, ketika kecil.
Ada memori kenangan indah, bagi mereka yang akrab dengan lagu tersebut. Jika dirunut, paling tidak ada dua hal yang “menonjol”:
1. Penghormatan kepada Guru;
2. Persahabatan indah antar teman – bahkan melewati kurun waktu yang panjang – sampai diusia menua saat ini.
Penghormatan kepada Guru, sampai pada tingkat relasi anak kepada orang tua, bahkan ketika para anak murid sudah menjadi orang.
Demikian pula, relasi persahabatan yang terjalin (terbangun) seringkali menembus-melewati batas-batas sekat perbedaan yang ada – entah etnis, keyakinan (agama), ataupun perbedaan lainnya.
Dulu – ketika lagu ciptaan Ibu Sud ini populer – hampir tidak pernah ada cerita Guru yang dianiaya, tidak pernah ada kisah murid mengalami perundungan (bullying).
Entah, memang ada korelasi antara hilangnya lagu tersebut dengan berita-berita penganiayaan terhadap Guru dan atau perundungan terhadap sesama murid, ataukah tidak, tentu diperlukan penelitian yang memadai untuk hal ini.
Tetapi, satu hal yang agak sulit dipungkiri adalah realita betapa mudahnya – kini – kita menjadi terkotak-kotak, terpisah secara diametral, atau – kalau harus dikatakan dengan lugas – ter(di)pecah belah.
Ibu Sud memang hanya menulis sebuah lagu. Namun ternyata lagu “Pergi Belajar” tersebut punya makna dan atau pengaruh yang tidak sepele. Ada pendidikan budi pekerti yang ingin disampaikan oleh Ibu Sud. Dan pendidikan pekerti itu ternyata tersimpan di dalam hati sanubari anak-anak. Berkontribusi pada pertumbuhan sebuah generasi, memberi ruh pada peradaban yang terbangun.
Kemana sekarang ruh tersebut? Kita – seolah-olah – menjadi mudah untuk “berbeda”. Dan perbedaan tersebut berdampak kepada pengkotak-kotakan. Bahkan, seperti sedang berjalan pada segregasi.
Mari kita bangun (wake up), mari kita segera mendusin (tersadar). Perbedaan dan keanekaragaman (pluralitas) yang kita miliki justru kekayaan bagi kita. Tidak semua bangsa mempunyai kekayaan pluralitas yang kita punyai.
Mari kita lanjutkan perjalanan ke depan – yang masih panjang – dengan bergandengan tangan (we walk hand in hand). Itu modal utama kita mengatasi semua problem bangsa ini (we shall overcome).
Dulu guru (digugu lan ditiru) dapat sebagai panutan dan dicontoh.
Sekarang guru bisa sedikit-sedikit digugat bila keliru.
Sekarang hampir tak terdengar lagi nyanyian _”Hormati Gurumu, sayangi teman, itulah tandanya kau murid budiman….”
Penulis : Edi Cahyono
Comment