by

Gereja Katolik Indonesia Menyongsong Agenda Politik 2019 Oleh Drs. Ruddy Nararyo Saroyo – Bagian II

-Politik-884 views

Saat ini Indonesia diselimuti oleh persoalan korupsi. Partai politik, parlemen dan peradilan sebagai lembaga paling korup dalam persepsi publik Indonesia. Partai politik menjadi episentrum korupsi. Untuk itu Gereja Katolik memperjuangkan pembaharuan politik. Menjadi terang dan garam dunia dapat dijalankan dalam berbagai cara sesuai dengan keahlian, keterampilan, hati nurani dan pilihan jujur dari masing-masing orang. Meskipun menempuh cara berbeda namun setiap umat beriman katolik harus membawa amanat yang sama, yaitu “berlaku adil, setia dan rendah hati di hadapan Allah” (bdk. Mikha 6: 8). Keberhasilan menjadi terang dan garam dunia itu diukur dari usaha dan perjuangan umat katolik Indonesia memberi jaminan bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tetap dipertahankan sebagai dasar negara dan acuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia, pelaksanaan kebebasan beragama, terwujudnya pemerintahan yang adil dan bersih.

Gereja lokal bisa mengawal secara bijak dan mengevaluasi secara kritis pelbagai aktivitas politik dalam wilayah keuskupan; mengadakan pembinaan politik pada pelbagai kesempatan; dan melakukan refleksi bersama secara berkala dan kontinu tentang kenyataan-kenyataan sosial-politik sehari-hari.Para pastor boleh, bahkan harus mengatakan kepada umat caleg yang mana atau siapa yang boleh dipilih dan yang mana atau siapa yang tidak boleh dipilih. Sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan dan tatanan kehidupan manusia, sesuai iman Gereja, Uskup diosis dibantu oleh para pastor (klerus), mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk menilai dan mengatakan siapa yang layak dan siapa yang tidak layak untuk dipilih sebagai pemimpin legislatif maupun eksekutif, yang tak lain adalah pelayan publik, pengabdi atau pejuang kebaikan umum.

Hal ini tidak dimaksudkan untuk menjelekkan atau melecehkan mereka yang dianggap tidak layak. Juga tidak bermaksud untuk menyingkirkan dari Gereja atau persekutuan Umat Allah mereka yang tidak layak dipilih. Begitu pula sebaliknya Uskup dan para pastor tidak bermaksud untuk menjunjung tinggi atau mengistimewakan mereka yang dianggap layak untuk dipilih. Apa yang dilaksanakan adalah semata-mata sebagai perwujudan dari tugas kenabian dalam bidang politik dan pemerintahan demi kebaikan umum.

Hal ini tercermin dalam kanon 287 pasal 2,yang bunyinya :

“Janganlah mereka (klerus) turut ambil bagian aktif dalam partei-partei politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja dan memajukan kesejahteraan umum.”

Maka hal itu bukan semata-mata soal boleh atau tidak boleh yang jadi fokus perhatian,tetapi soal perlu atau tidak perlu. Apa yang dilaksanakan uskup dan para pastor juga samasekali tidak mengurangi atau “mengebiri” kebebasan umat dalam mengambil pilihan politiknya. Setiap pemilih tetap memiliki kebebasan penuh dalam mengambil pilihan politiknya. Akan tetapi supaya memilih politisi dan pemimpin eksekutif yang tepat, para pemilih perlu dituntun. Untuk itu bimbingan atau arahan mutlak perlu. Apalagi mengingat praktek-praktek perpolitikan di negeri kita yang sarat dengan cara-cara yang tidak benar atau tidak baik, yang bertentangan dengan hak asasi manusia, yang mengelabui dan tidak mendidik, yang menggiring para pemilih pada pilihan yang salah. Pemilu, seperti dikatakan Romo Franz Magnis Suseno, SJ., bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Pendidikan politik itu bagian integral dari pembinaan iman seluruh anggota Gereja termasuk para calon katekis, imam dan kaum religius (KWI: Tanggung Jawab, 2009).

Memberikan pendidikan politik tentang pemilu itu perlu dan dibutuhkan untuk meningkatkan partisipasi, menggairahkan penggunaan hak pilih, mengurangi apatisme dan golput. Menggunakan hak pilih adalah sebuah perutusan sebagai umat Gereja dan panggilan sebagai warna negara. Memilih secara cerdas, bertanggung jawab dan sesuai suara hati. Diharapkan agar para pemilih dengan bijak mengambil pilihan yang tepat dengan memperhitungkan dan mengutamakan kwalitas diri, peluang keberhasilan, serta sikap, kemampuan dan niat kerjasama setiap caleg, agar suara yang diberikan tidak mubasir ataupun tidak terpilih figur yang salah.

Manusia adalah mahluk berpolitik (zoon politikon).Politik itu seni kemungkinan dan ketidakpastian. Ini membuat politik itu menarik, bukan saja diobrolkan tapi juga digeluti oleh mereka yang terpanggil untuk berkiprah di dunia politik, termasuk mereka yang katolik. Katolik itu kecil dan sedikit dalam jumlah bila dibandingkan yang dominan dan mayoritas di negeri ini. Lalu bagaimana praksis politisi katolik itu diaktualisasikan? Sementara ketulusan sering terkontaminasi oleh godaan politik kekuasaan yang dahsyat.

Untuk rakyat konstituennya, politisi yang bermoral akan matimatian mempertahankan prinsip dan pandangannya, bukan untuk kantong dan dompet sendiri. Mereka “terikat kewajiban khusus untuk meresapi dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat injili, dan dengan demikian khususnya dalam menangani masalah-masalah itu dan dalam memenuhi tugas-tugas keduniaan memberi kesaksian tentang Kristus.” (kanon 225 pasal 2). Dalam membangun dan membaharui tekad bersama untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa kita yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, kiprah para politisi katolik hendaknya menggunakan landasan utama Kemanusiaan, Iman dan Kenegaraan. Pro Ecclesia Et Patria.

 

Halaman III

Kontributor

Comment

Leave a Reply