Wartaindonews — Tanggal 6 Juni adalah kelahiran Bung Karno sang proklamator. Sudah banyak tulisan yang mengungkap perjuangan Soekarno yang gigih melawan penjajah Belanda.
Namun belum banyak diketahui bahwa dibalik sosok Soekarno yang pemberani, hadir seorang ibu yang tabah yaitu Nyoman Rai Srimben atau juga dikenal sebagai isteri dari R. Soekeni Sosrodihardjo.
Tri Kaya Parisudha, adalah pegangan utama bagi seorang Bali dalam menjalani kehidupannya, yakni satunya pikiran, perkataan dan perbuatan yang baik.
Pandangan hidup seperti ini pulalah yang mengesan kuat dari Nyoman Rai Serimben.
Ia ikut merantau bersama suami yang bukan sesuku ke Pulau Jawa, tinggal berpindah-pindah dari Surabaya, Ploso, Sidoarjo, Mojokerto, dan kemudian untuk masa yang sangat panjang berdiam di Blitar.
Di rumah Blitar, Nyoman Rai Srimben ternyata sering melakukan “tirakat”, ketika sedang mempunyai maksud-maksud tertentu, terutama yang berkaitan dengan anaknya Soekarno.
Sejak Soekarno memasuki sekolah rendah, kebiasaan “tirakat” ini telah dilakukan oleh Nyoman Rai Srimben. Apalagi ketika Soekarno semakin tampak sebagai sosok yang penting bagi kehidupan orang banyak.
Nyoman Rai Srimben tidak pernah tidur sebelum jam 02.00 pagi. Ketika orang-orang sudah terbuai oleh impian dalam tidurnya, Nyoman Rai Srimben masih duduk bertafakur menyampaikan segala pengharapannya, agar anaknya dilindungi Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan cita-citanya, mewujudkan kemerdekaan bangsanya.
Selama menjalani kehidupan dengan gantungan utama gaji pensiun Soekeni, ia semakin khusuk menekuni saat-saat tirakat nya sebagai pribadi yang menyandarkan seluruh kehidupannya pada welas asih yang Maha Kuasa.
Mengandalkan gaji suaminya yang guru itu untuk kehidupan mereka anak beranak, tidak akan mencukupi.
Nyoman Rai Srimben ikut beranggung jawab atas pemasukan uang bagi mereka, selama bertahun-tahun.
Bagi Nyoman Rai Srimben keberadaan anak pertamanya Soekarmini cukup meringankan. Soekarmini sejak gadis mampu membantu sang ibu dalam pekerjaan membatik.
Soekarmini kemudian menikah dengan R Poegoeh, opsiter yang kemudian bekerja dan tinggal di Mojokerto.
Nyoman Rai Srimben memang merasa kehilangan tenaga bantuan dalam mengurusi pekerjaan rumah, namun dengan berumahtangganya Soekarmini sebagai Nyonya Poegoeh, agak terbantu jugalah Nyoman Rai Srimben dan suaminya Soekeni dalam mengurusi Soekarno. Soekarmini dan suaminya kemudian banyak memberikan bantuan biaya hidup dan sekolah Soekarno. Hingga ketika Soekarno berliburpun, ia selain dapat pulang ke Blitar, Soekarno dapat pula jalan-jalan ke Mojokerto.
Hubungan kakak beradik ini memang sangat erat sejak kecil, dan ketika adik kesayangannya Soekarno meninggal dunia, Soekarmini sang kakak sangat terpukul perasaannya dan merasakan keperihan yang sangat dalam.
Dua peristiwa yang selalu terkenang dalam ingatan Nyoman Rai Srimben, tentang perjuangan Soekarno.
Pertama, ketika Soekarno ditahan di penjara Soekamiskin, Bandung, Nyoman Rai Srimben sengaja datang untuk menjenguk buah hatinya itu.
Penerimaan yang kaku dan ketat oleh para petugas penjara Soekamiskin tidak membuat takut Nyoman Rai Srimben. Dengan keluguan dan kerinduannya sebagai seorang ibu, dengan bahasa Jawa yang lugas ia memperkenalkan diri sebagai “Ibune Soekarno”. Nyoman Rai Srimben agak kaget ketika petugas tahanan bangsa Belanda itu membentak dan melarangnya menggunakan bahasa Jawa. Namun Soekarno sendiri malah tertawa gembira mendengar hal ini.
Kedua, kenangan yang juga tak terlupakan bagi sang ibu, adalah ketika Soekarno mau dibuang ke Flores. Pemerintah Hindia Belanda waktu itu tak membiarkan orang-orang Indonesia menemui Soekarno dalam tahanan bahkan juga dalam perjalanan ke pembuangan. Nyoman Rai Serimben dan suaminya Soekeni hanya diperkenankan bertemu Soekarno selama beberapa menit sebelum Soekarno dikawal ketat ke dalam kapal. Pertemuan yang singkat itu penuh air mata. Tetap saja sukar bagi Nyoman Rai Srimben untuk memahami bahwa putera fajarnya yang sejak kecil selalu menjadi pusat doanya itu, kini telah menjadi dewasa dan harus mengemban beban berat sebagai pejuang bagi bangsanya.
Pengalaman yang membahagiakan bagi Nyoman Rai Srimben, ketika masa penjajahan Jepang, setelah berpisah tujuh tahun, Soekarno sengaja mengunjungi Blitar. Begitu Soekarno turun dari kendaraan yang membawanya dari stasiun ke rumah ibundanya yang ada di Gebang (sekarang jalan Sultan Agung) itu, Soekarnopun melangkah cepat menghampiri dan kemudian bersimpuh di kaki Nyoman Rai Srimben, sang ibu setengah baya yang sudah berkaca mata itu. Nyoman Rai Srimben menepuk-nepuk bahu sang anak, dan tak mampu menahan air mata bahagia yang membasahi pipinya.
Kelak pertemuan-pertemuan semacam ini, di tengah-tengah kesibukannya sebagai presiden, Soekarno selalu datang ke Blitar, dan bersimpuh dikaki Nyoman Rai Srimben, sang telaga yang sejak puluhan tahun lewat selalu memuaskan dahaganya akan kasih sayang dan ketulusan seorang ibu.
“Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi
pemimpin dari rakyat kita. Karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing” Nyoman Rai Srimben.
Retno Triani Soekonjono
(Cucu ibu Soekarmini)
Daftar Pustaka:
Setia Dharma Madjid, Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, dkk (2002):
R. Soekeni Sosrodihardjo dan Nyoman Rai Srimben. Ayah Bunda Bung Karno Suri Tauladan Bangsa.