by

DEKAT ‘YES’, MELEKAT ‘NO’

-Artikel-905 views

Pernikahan yang merupakan salah satu tonggak terpenting kehidupan manusia, biasanya dirayakan dengan meriah. Apalagi bagi yang berduit, bisa dirayakan di hotel berbintang. Salah satu bagian yang saya suka perhatikan dalam resepsi itu adalah sambutan yang ditujukan kepada mempelai berdua. Biasanya sambutan ini berupa nasehat-petuah yang mengandung nilai-nilai luhur sebagai bekal memasuki hidup berumah tangga. Adapun dengan nasehat-petuah itu, harapannya pengantin baru ini bisa hidup dan membangun rumah tangga yang bahagia. Salah satu yang paling sering saya dengar adalah penggunaan perumpamaan. Pernikahan diumpamakan sebagai perjalanan dengan bahtera melewati lautan luas, kadang dengan ombak yang ganas sebagai gambaran tantangan dalam menempuh hidup berumah tangga. Pernikahan diumpamakan sebagai perjalanan dengan bahtera. Selain perumpamaan ini, ada juga perumpamaan lain. Perumpamaan pernikahan juga bisa diumpamakan orang/petani yang menanam pohon. Cerita selengkapnya adalah sebagai berikut:

Apabila ada orang menanam sebatang pohon (tanpa pohon yang lain), berarti satu-satunya pohon di atas bukit, itu sama dengan tidak memberi kesempatan bagi pohon itu untuk tumbuh dengan baik. Mengapa demikian? Sebab dengan cara seperti itu, berarti orang itu membiarkan pohon di terpa tiupan angin yang kuat dari empat penjuru angin. Akibatnya, pohon itu akan terbantut, kerdil, tidak dapat menjadi besar. Apabila orang ingin agar pohon tumbuh dengan potensi penuh, orang harus menanamnya di sebuah tempat yang lebih terlindung. Idealnya, orang juga harus minimal menanam satu batang pohon lain disampingnya. Pohon yang ditanam juga harus kurang lebih sama.

Pohon-pohon itu juga harus tidak di tanam terlalu berdekatan satu dengan yang lainnya, sehingga mereka saling menutupi atau menjadi berlilitan dan apabila salah satu di cabut, yang lain ikut tercabut. Namun pohon-pohon itu juga harus tidak terpisah jauh, sehingga mereka tidak bisa memberi sesuatu sama lain. Mereka harus di tanam sedemikian rupa, sehingga mereka bisa saling memberikan perlindungan dan keteduhan satu dengan lainnya dengan tanpa mengganggu masing-masing pertumbuhannya.

Kitab Suci berkata: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja’. Ini artinya, Allah menciptakan kita manusia untuk hidup berpasangan. Bukan untuk hidup soliter/menyendiri/sendiri. Manusia membutuhkan orang lain agar menjadi seperti yang Allah maksudkan. Tanpa relasi yang dekat, paling tidak dengan satu orang lain, orang akan mengalami kesepian. Atas alasan agar manusia tidak kesepian dan demi pertumbuhan keluarga umat manusia itulah, maka Allah menciptakan seorang perempuan sebagai penolong yang sepadan bagi laki-laki. Sebab itu, seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya, dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Menjadi satu daging artinya mereka saling berjanji satu kepada yang lain, saling membutuhkan satu sama lain, masing-masing mempunyai pemberian spesial bagi yang lain, sehingga mereka saling melengkapi.

Setelah penikahan, mempelai baru ibarat/seperti dua pohon yang di tanam berdampingan. Mereka harus cukup dekat satu dengan yang lain, sehingga bisa saling memberi pertolongan. Namun demikian, mereka harus tidak terlalu dekat sehingga mencekik satu sama lain. Hidup mereka harus tidak sampai berlilitan, sehingga mereka kehilangan individualitas/identitasnya. Mereka harus memelihara identitas masing-masing. Masing-masing harus menyediakan ruang bagi yang lain dan kemerdekaan untuk berkembang.

Hal ini menuntut cinta yang spesial. Cinta palsu memperlakukan pasangan agar selalu memberi kebahagiaan (melayani, memperhatikan, peduli, dsb). Nah, bagi orang yang cintanya palsu, gagasan mengenai ‘memberi ruang bagi yang lain dan kemerdekaan untuk berkembang’ sering dipahami/diartikan sebagai sebuah ancaman. Orang ini beranggapan, dengan ruang dan kemerdekaan yang disediakan pasangannya, berarti hidup terpisah, pemikiran, karir, teman bahkan tujuannya sendiri. Cinta sejati, sebaliknya, menghormati hak pasangan, yang sebenarnya adalah kebutuhan orang untuk menjadi orang/pribadi otonom (merdeka). Hal ini berarti memberi pasangan/orang lain, ruang untuk tumbuh berkembang dengan caranya sendiri yang tidak bisa ditiru orang lain. Dengan membiarkan orang yang kita cintai bergerak secara bebas dan menghidupi hidupnya sendiri, adalah hal yang paling sulit di dunia.

Sebagai suami isteri, kami dekat namun tidak melekat. Kami harus menyeimbangkan antara aspek dekat dan tidak melekat. Itu berarti, ada tersedia cukup waktu untuk bersama, namun juga ada waktu untuk diri sendiri melakukan kegiatan/aktivitas, bakat, minat pribadi, hobi sesuai karakternya. Menurut istilah zaman now, masing-masing suami maupun isteri ada ‘Me-Time’. Kami, suami isteri merupakan pribadi yang sangat berbeda. Isteri masuk katagori ‘extrovert’. Dia adalah orang berlabel ‘san-kol’ (sanguinis koleris). Salah satu ciri yang menonjol orang sanguinis adalah periang, sangat senang bertemu orang. Ciri riang isteri saya itu nampak sekali dalam hal menyanyi. Bagi dia, tidak ada hari tanpa menyanyi. Khasanah lagunya banyak sekali. Dia suka bertemu orang, maka kalau belanja misalnya, dia lebih suka bersepeda sendiri, agar sambil belanja, dia bisa ketemu teman-temannya. Dia pulang belanja menjadi lebih hidup/bersemangat. Energinya menjadi penuh.

Berbeda dengan isteri saya, saya masuk katagori ‘introvert’. Saya adalah orang ‘fleg-mel’ (flegmatis melankolis). Hal yang paling menonjol adalah tenang, sabar, tidak suka bersaing. Saya adalah orang yang ‘adem ayem, empuk eyub’ (nyantai). Saya lebih cenderung menjalani hidup ‘soliter’. Saya menghabiskan waktu/mengisi ‘Me-Time’ saya dengan membaca buku atau menulis atau sekedar duduk diam tanpa melakukan apa-apa (The joy of not working). Dengan cara seperti ini, saya ‘men-charge’ energi saya menjadi penuh.

Dalam hal ini, kami melakukan kegiatan pribadi yang berbeda menurut karakteristik kami masing-masing. Pada saat isteri berbelanja, saya bisa membaca buku atau menulis. Kami tidak saling menghalangi pasangan untuk tumbuh berkembang dengan keunikan masing-masing. Dengan cara seperti ini, kami dekat tapi tidak melekat. Pernikahan memang menyatukan kami tetapi tidak menyamakan kami. Dalam hal ini baik suami maupun isteri tetap merupakan pribadi yang unik dengan identitasnya masing-masing.

Maka, sementara kedekatan itu perlu dan sangat diharapkan dalam sebuah relasi seperti pernikahan, namun harus tetap ada ruang juga, apabila masing-masing pribadi ingin berkembang dengan potensi penuh. Tantangan yang sebenarnya adalah: bagaimana tetap bersama, dekat, bahkan intim satu sama lain tanpa saling menekan/mendominasi satu sama lain. Dengan menekan berarti mengingkari potensi-potensi yang baik yang dimiliki pasangan. Mendominasi berarti menindas.

Pasangan suami isteri harus disatukan oleh cinta satu sama lain yang mendalam, sehingga keterpisahan dan kesepian bisa diatasi, namun masing-masing pribadi bebas untuk menjadi dirinya masing-masing. Perbedaan mereka tidak diingkari, justru disemangati/didorong, sehingga menjadi sumber pengayaan bersama. Justru karena kamu berbeda dengan saya, sehingga kamu punya sesuatu yang bisa kamu berikan kepada saya. Bila kamu hanya merupakan cermin/pantulan diri saya, maka saya tidak membutuhkan kamu.

Pada saat calon mempelai saling mempersembahkan diri satu kepada yang lain dalam pernikahan, mereka sebenarnya saling berkata satu kepada yang lain: ‘Saya siap berdiri disampingmu. Saya akan ada di sana denganmu, namun saya sama sekali tidak berniat untuk menekan, mendominasi, memanipulasimu. Saya berada di sana untuk membantu kamu tumbuh berkembang dengan potensimu yang penuh. Saya berharap kamu juga melakukan hal yang sama untuk saya’.

Dua pohon tidak bisa menerima apa saja yang mereka butuhkan dari pasangannya. Mereka harus juga menerima dari sumber-sumber di luar mereka: dari matahari, hujan, tanah, dll. Demikian juga suami isteri, tidak bisa saling memberi apa saja yang mereka butuhkan. Mereka harus terbuka untuk menerima dari sumber-sumber di luar, dari sesama, di atas segalanya dari Allah Bapa Surgawi. Lagi pula, kita bukan pohon. Kita adalah anak-anakNya yang sangat berharga. Allah ingin melihat kita tumbuh berkembang dan memiliki/menikmati kehidupan. Yohanes 10 : 10b: ‘Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan’.

 

 

Penulis: Ph. Ispriyanto

Kontributor

Comment

Leave a Reply