by

CVBM

-Artikel-1,636 views

Ada tiga momen penting yang terjadi dalam siklus atau perjalanan hidup manusia. Saya sering menyebutnya tonggak-tonggak kehidupan. Ketiga momen penting itu adalah KELAHIRAN, PERKAWINAN dan KEMATIAN. Menyambut momen itu, orang biasanya menyambutnya dengan suatu ritual. Untuk menyambut kelahiran bayi misalnya, orangtua bayi mengadakan pesta. Mulai dari yang sederhana seperti ‘BANCAAN’ sampai pesta di restoran atau hotel bagi yang berduit. Menyambut perkawinan lebih-lebih, biasanya dengan pesta yang meriah. Untuk kematian pun pihak keluarga bersama relasi atau teman juga mengadakan ritual, yaitu ritual pemakaman untuk melepas orang yang meninggal.

Nah, dari ketiga momen penting itu biasanya yang dirayakan dengan meriah adalah perkawinan. Yang dirayakan secara meriah itu pestanya ‘WEDDING’-nya sebagai awal perkawinan ‘MARRIAGE’-nya. Ada perbedaan yang sangat mencolok, ‘WEDDING’ adalah sebuah ritual yang terjadi hanya dalam hitungan hari saja. Sedangkan ‘MARRIAGE’ adalah perjalanan bersama seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk seumur hidup. (menurut KHK: Kitab Hukum Kanonik). Kan 1056: ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan adalah unitus (kesatuan) dan indisolubilitas (sifat tak dapat diputuskan). Yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.

Karena perkawinan kristiani satu dan tak dapat diputuskan (seumur hidup), maka untuk masuk ke dalam perkawinan perlu pemikiran, pertimbangan secara matang. Untuk itu perlu dibicarakan nilai-nilai sebelum perkawinan. ‘CLARIFICATION VALUES BEFORE MARRIAGE’ = CVBM. Karena temuan di ruang konsultasi menunjukkan bahwa persoalan atau masalah yang sering muncul adalah uang, seks, pendidikan anak, mertua, saudara ipar. Maka ya lima bidang rawan dalam keluarga inilah yang menjadi point dalam CVBM.

UANG.
Berbicara masalah uang itu berarti berbicara hal yang peka. Calon mempelai harus membicarakan masalah keuangan ini secara serius. Misalnya: Berasal dari mana sumber keuangan keluarga? Apakah suami dan isteri, keduanya sama-sama bekerja? Atau hanya suami yang bekerja? Atau mereka membuat kesepakatan sebelum punya anak, suami isteri sama-sama bekerja, setelah ada anak, isteri merawat anak di rumah? Bagaimana pengelolaan keuangan? Kalau suatu saat orangtua meminta bantuan uang, bagaimana? Atau suatu saat adik atau kakak minta bantuan uang, bagaimana? Ini mesti dibicarakan sebelum menikah, karena bisa menjadi masalah. Bahkan menjadi masalah yang serius yang bisa berbuntut panjang. Jangan heran salah satu penyebab perpisahan sampai perceraian muncul dari masalah uang atau ekonomi.

SEKS.
Bidang rawan kedua dalam rumah tangga adalah seks. Menurut saya, calon pengantin perlu memahami perbedaan antara pria dan wanita. Lebih-lebih memahami perbedaan kebutuhannya. Ini penting agar tidak terjadi salah memberi yang dibutuhkan, karena kebutuhan pria dan wanita itu berbeda. Memberikan sesuatu yang bukan kebutuhannya kepada pasangan bukan membuat pasangan senang dan berterima kasih, melainkan bisa membuat jengkel atau marah. Kebutuhan manusia, baik pria maupun wanita itu banyak. Namun, kebutuhan utama pria maupun wanita menurut Willard F. Harley, Jr masing-masing ada lima, yaitu:

Kebutuhan isteri
Kebutuhan suami

1. Kasih sayang – Affection
1. Pemenuhan seksual – Sexual fulfillment

2. Percakapan – Conversation
2. Kebersamaan rekreasi – Recreation companionship

3. Kejujuran dan keterbukaan – Honesty and openness
3. Daya tarik fisik pasangan yang menarik – An attractive spouse

4. Dukungan keuangan – Financial supports
4. Dukungan di rumah – Domestic supports

5. Komitmen keluarga – Family commitment
5. Pengaguman – Admiration

PENDIDIKAN ANAK.
Bidang rawan ketiga dalam rumah tangga adalah pendidikan anak. Orangtua sebagai pendidik pertama dan utama mempunyai tugas atau tanggung jawab yang mulia sekaligus berat, yaitu mendidik anak. Dalam hal ini, orangtua mempunyai tugas yang amat penting sebagai pendidik untuk meletakkan dasar-dasar pendidikan bagi anak, yang sangat menentukan untuk perkembangan atau pertumbuhan selanjutnya. Pendidikan di rumah atau keluarga lebih berupa penanaman nilai-nilai luhur, kebiasaan-kebiasaan baik dari budaya masa lalu, penanaman nilai-nilai keagamaan serta nilai-nilai lainnya yang membantu anak untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang utuh dan berkualitas (bertumbuh secara manusiawi dan rohani). Tugas pendidikan ini tidak dapat diwakilkan kepada siapa pun. Tentu dalam menjalankan tugas ini orangtua (suami isteri) harus satu bahasa, kompak. Jangan sampai misalnya ibu sudah mengizinkan, sedangkan ayah serba melarang. Anak akan menjadi bingung, kepribadiannya terbelah. Andaikata itu terjadi, berarti terjadi masalah. Maka, kerjasama suami isteri sangat dibutuhkan agar anak kelak menjadi pribadi yang sehat dan utuh.

Pada suatu saat, anak pasti menempuh pendidikan formal: TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Tugas mengajar formal berpindah ke guru. Namun, ini bukan berarti orangtua lalu bebas lepas. Orangtua tetap dituntut untuk mendampingi anak. Pendidikan formal lebih memberikan pendidikan yang bersifat akademis. Orangtua bisa mendampingi aspek-aspek lain. Saya punya pengalaman mendampingi anak-anak saya. Saya setahun dua kali memantau anak-anak pada saat mereka belajar di dalam kelas tanpa sepengetahuan mereka atas izin dari guru BK atau wali kelas. Saya bisa tahu tempat duduk anak saya. Saya bisa mengetahui teman yang duduk di sebelah kiri-kanan, depan-belakang mereka. Bila saya memerlukan informasi tentang anak saya dari temannya, saya bisa memperolehnya dengan mudah. Bagi saya secara pribadi, menjalin relasi dengan pihak sekolah itu penting dan perlu. Dengan komunikasi ini, bisa menciptakan kerjasama yang baik antara pihak sekolah dan orangtua. Kita bisa saling memberi masukan atau informasi. Saya secara khusus ingin mengetahui sikap atau perilaku anak kalau berada di sekolah. Apakah perilaku yang baik di depan orangtua, juga baik di depan guru dan temannya. Saya tidak mau terkecoh, baik di depan orangtua tetapi buruk di lingkungan sekolah.

Sebagai orangtua dalam mendampingi anak, hendaknya juga bijaksana. Misalnya, tentang pemilihan sekolah atau jurusan, hendaknya ada komunikasi antara orangtua dan anak. Dengarkan maunya anak. Orangtua tentu boleh memberi masukan tentang pemilihan sekolah atau jurusan kepada anak. Kalau anak sudah cukup dewasa untuk bertanggungjawab atas pilihannya, hendaknya orangtua jangan memaksakan kehendak atau ambisinya kepada anak. Pemaksaan kehendak terhadap anak bisa menjadi masalah. Ada kisah nyata mengenai hal ini.

Ada seorang siswi lulus SMP. Dia mendaftar ke sekolah ‘A’ yang disukainya. Dia diterima, tetapi ayahnya tidak setuju. Ayahnya ingin anaknya sekolah ‘B’. Ayahnya memaksakan kehendak. Dengan pongahnya dia berkata: ‘Pokoknya sekolah di ‘B’, kan ayah yang membiayai!’. Singkat cerita, siswi ini lalu sekolah di ‘B’. Tetapi setelah beberapa bulan, siswi ini berulah sebagai bentuk pemberontakannya. Dia mulai bolos sekolah. Kalau bolos, dia tidak pergi-pergi. Dia tinggal di rumah. Mau main organ kek, mau komputeran kek, tidur kek. Pendeknya, frontal di depan orangtua. Ayahnya mulai pusing. Akhirnya, dia mengajak anaknya ke seorang konselor untuk konsultasi. Hasilnya, ayah ini diminta untuk memindahkan anaknya demi pertumbuhannya yang sehat, sekaligus untuk menghindari hal-hal yang lebih buruk pada anaknya. Tetapi ayah ini tidak mau. Dia tetap tidak mau memindahkan. Apa akhirnya yang terjadi? Pemberontakan anak menjadi lebih frontal dan fatal. Dia mempunyai pacar yang masih kuliah di sebuah perguruan tinggi dan baru semester keempat. Pacarannya dibablaskan sehingga akhirnya siswi ini hamil. Buntutnya, stop sekolah, dikawinkan dan ikut orangtua. Akhirnya jadi beban atau tanggung jawab ayahnya.

MERTUA.
Sebelum memasuki balai rumah tangga, ada baiknya kalau masalah mertua dibicarakan. Bagaimana kalau salah satu dari orangtua (mertua) mau ikut tinggal bersama si pengantin baru? Boleh atau tidak? Bisa jadi ada pasangan yang sejak awal dengan tegas dan jelas berkeberatan, apabila mertua ikut tinggal bersama mereka. Alasannya ingin mandiri. Mungkin pasangan ini pernah mendengar atau melihat pasangan lain yang mengalami masalah keluarga (keharmonisan suami isteri terganggu) karena mertua terlalu campur tangan dengan mendiktekan keinginannya kepada anaknya. Kehendak mertua ternyata tidak sejalan dengan kehendak menantu. Masih ada orangtua yang berpikiran bahwa anaknya yang sudah menikah itu tetap anaknya, sehingga orangtua ini berpikir masih tetap berhak untuk mengaturnya seperti pada waktu masih ikut orangtua. Dalam hal ini, tentu orangtua harus tidak demikian. Memang yang namanya anak ya tetap anak. Tidak ada bekas anak. Demikian pula orangtua. Yang namanya orangtua ya tetap orangtua. Tidak ada bekas orangtua. Sebagai orangtua bagi anak yang sudah berumah tangga, tentu boleh memberi pendapat, masukan, informasi, usulan tetapi biarlah anak yang mengambil keputusan. Mertua jangan sakit hati karena menantu dan anaknya itu ibarat membangun pemerintahan baru dengan konstitusi yang sudah mereka tentukan sendiri.

Ada juga pasutri baru yang justru langsung meminta salah satu mertua untuk tinggal bersama mereka, karena keduanya sama-sama bekerja, sehingga mertua bisa menunggu rumah, karena membayar orang untuk menunggu rumah, sekarang ini kadang-kadang riskan. Ada juga mertua yang diminta tinggal bersama, setelah hadirnya ciptaan baru, yaitu anak. Mertua diharapkan untuk mengasuh cucu karena pasutri sama-sama bekerja.

SAUDARA IPAR.
Saudara ipar juga perlu dibicarakan oleh calon pengantin secara terbuka, jujur. Jangan sampai ke depan menjadi masalah. Bagaimana bila salah satu saudara ipar ikut tinggal bersama pasutri baru? Boleh atau tidak? Pernah terjadi suatu kasus. Ada pengantin baru. Pernikahan mereka baru tiga bulan. Keduanya berasal dari keluarga yang sama-sama miskin. Mereka tinggal di rumah kontrakan. Memasuki bulan keempat pernikahan, tiba-tiba salah satu mertua datang dengan tujuan mau menitipkan anaknya yang baru lulus SMP untuk boleh tinggal bersama. Maksudnya, tinggal bersama dan dicukupi semua kebutuhannya: makan, biaya sekolah dan transportasi sekolah. Apa yang terjadi setelah saudara ipar ini tinggal bersama? Anak menantu merasa keberatan harus membiayai adik ipar. Sementara pasangannya merasa mempunyai kewajiban atau tanggung jawab. Akhirnya, dengan kehadiran saudara ipar ini mengakibatkan masalah, yang menjadikan relasi suami isteri menjadi renggang dan sering terjadi cek-cok.

Uang, seks, pendidikan anak, mertua dan saudara ipar memang merupakan bidang rawan dalam rumah tangga. Dengan memahami bidang rawan dalam rumah tangga ini, harapannya para calon pengantin harus bijak dalam menyikapinya. Dan cara bijak menyikapinya adalah bidang ini dibicarakan bersama sebelum memasuki balai rumah tangga, sehingga kelak tidak menjadi masalah. Inilah manfaat ‘CLARIFICATION VALUES BEFORE MARRIAGE’ = CVBM.

 

Penulis: Ph. Ispriyanto

Kontributor

Comment

Leave a Reply