by

Campur Aduknya Profesi Pers Dan Komoditas

-OPINI-628 views

Wartaindo.news – Unggahan foto artis yang tempo hari terlibat kasus prostitusi online itu. Membuat gempar para nitizen, hingga mengundang saya untuk tertawa. Bahasa hiperbola keluar begitu saja hingga membawa-bawa nasib bangsa, hadeeeh.

Mungkin bukan saya saja yang tertawa, kalian bisa saja tertawa hingga bahasa sarkasme di media sosial bermunculan kata apem seharga Rp. 80 juta keluar begitu saja hehehe

Jika memang kalian bisa terkekeh, itu pertanda bahwa Anda berhasil menangkap “hati bahasa milenial” (bukan bahasa hati) netizen tersebut, yang jelas saja tipikal berbahasa sejenis itu adalah domain utama kebahasaan kita hari ini.

Itulah awal mula pergeseran ruang publik di media sosial yang mampu menggeser media arus utama, hingga perlu berpikir keras oleh ulah para nitizen. Mereka bebas berekspresi hingga gelar yang di dapat tanpa susah-susah mereka miliki yakni citizen jurnalism.

Dan yang menjadi lebih menarik lagi, pernah saya alami kini yang menjadi ancaman serius, bagi dunia jurnalistik adalah munculnya domain dan webhosting yang cukup murah di jual, tak perlu merogoh kantong yang besar.

Hanya bermodal Rp. 150 ribuan sudah memiliki media online, inilah kumpulan para citizen jurnalism yang di tampung dengan kewartawanan, padahal kaum milenial lebih tertarik dengan aplikasi yang bisa membuaikan hati hedonis mereka, sedangkan para jurnalis di media yang tengah di bangun bukan orang milenial lagi, tapi orang yang gagap teknologi karena faktor usia. Jangankan membuka web mereka sendiri, untuk membuka link berita yang di bagikan di WAG saja ogah tujuh turunan, apalagi membaca, sontoloyo memang.

Yang lebih menarik lagi, media yang sudah berani mengaku sebagai media arus utama, tapi miskin penulis. Dalam hati saya bertanya kok maunya ya mereka menjadi wartawan ethok-ethok (wartawan bohongan). Namun mereka juga tidak bisa di salahkan karena faktor perusahaan biadad ini, yang asal main rekrut untuk mengisi lowongan wartawan.

Dalam hal ini ada yang salah, yakni media di kelola seperti organisasi masyarakat, bukan sebagai perusahaan yang memperkerjakan sebagai profesi. Dan yang lebih hancur lagi profesi diaduk-aduk seperti adonan bahan makanan, seperti halnya seorang yang tidak punya kemampuan menulis dengan mudahnya menjadi seorang wartawan. Yang lebih berbahaya lagi mengirim berita copas (copypaste) mengutip berita orang lain tinggal kirim dan tanpa ada sumber berita dari mana ia dapat , serta poto beritapun sama dan narasinya tanpa ada perubahan itu sangat mengawatirkan bagi perusahaan yang di naunginya hmmmm… suguh naif memang.

Hal inilah yang memanggil kita semua untuk mengamputasi dan memarjinalkan keberadaan mereka, saya pernah mendengar ucapan dari salah seorang wartawan senior, bila dulu dia bangga menjadi wartawan, kini terasa berat dan malu jika mengaku menjadi wartawan. Masyarakat terlanjur tahu, pers di negeri ini baru sakit hingga mereka menjadi taraf stadium.

Pro dan kontra Uji Kompetensi Wartawan pun masih ramai di bicarakan, hingga gugatan dari beberapa organisasi wartawanpun masih berlanjut. Semoga dengan ulasan dari saya ini bisa menjadi tolok ukur mana yang baik dan mana yang buruk, harus di pilah untuk menjadi Pers yang sejati, bukan Pers sembarangan asal bayar jutaan rupiah bisa menjadi wartawan. (Yoeliant Dp)

Kontributor

Comment

Leave a Reply