by

Bali, Sebuah Diversity (2) Belawa atawa Patus Desa Tenganan

-Artikel-380 views

Menjadi seorang BELAWA atawa PATUS di Bali, terlebih salah satunya BELAWA atawa PATUS di Tenganan Bali Bukanlah Hal Yang Sembarangan.

Mari Kita Baca Kisah Perjalanannya PATUS Dan Masakannya di Tenganan Bali, Sebuah Akar Budaya Peradaban Bali yang masih terlestarikan dalam Berpikir, Berucap dan Bertindaknya Seorang PATUS di Tenganan.

Komandan chef dalam khasanah peradaban masak memasak Bali disebut Patus, atau kadang disebut juga dengan Belawa. Nama Belawa diambil dari nama Bima yang menyamar sebagai juru masak bernama Belawa saat masa pengasingannya dalam epos Mahabharata.
Tetapi sebutan patus jauh lebih dikenal.

Patus ini bertugas sebagai komandan dalam urusan masakan kalau ada hajatan atau memasak untuk orang banyak. Jumlah masakan, jenis dan takaran bumbu dan hal-hal lain yang terkait masakan semua didirigeni oleh sang patus.

Masakan baru boleh keluar untuk dihidangkan kalau sudah mendapat persetujuan dari sang patus.

Hampir semua patus di Bali adalah laki-laki.
Kenapa laki-laki? Mungkin karena para wanita mempunyai tugas yang jauh lebih rumit yaitu membuat sesajen.

Di Tenganan ada yang sangat unik tentang patus ini. Biasanya juru masak sampai ke tingkat menjadi patus pasti karena salah satu kelebihannya adalah indra perasanya yaitu lidahnya mempunyai keistimewaan yang bisa memastikan apakah masakan itu enak atau tidak, layak atau tidak disuguhkan. Biasanya pada sesi terakhir setiap masakan, sang patus akan mencicipi dan kemudian memberi tambahan sesuatu kalau ada yang dirasa kurang sampai dianggap pas. Kalau sudah dirasa pas barulah sang patus memberi tanda mengijinkan masakan itu boleh keluar untuk menjadi suguhan.

Anehnya, di Tenganan, justru semua masakan ini tidak boleh ada yang mencicipi, termasuk oleh patus. Sang patus menyatakan bahwa masakan itu sudah siap hanya dengan melakukan dan melihat prosesnya dengan tanpa mencicipi. Karena memang tidak boleh.
Ini betul-betul unik.

Alasannya ternyata sangat sederhana tapi sangat dalam.
Di Bali memang ada ritual mempersembahkan hasil masakan sebelum dikonsumsi.

Sesembahan itu adalah sejumput kecil dari masakan-masakan tersebut. Ritual sesembahan itu lazim disebut “mejot”, atau ada juga yang menyebut mesegeh.

Jadi masyarakat Tenganan menganggap adalah sangat tidak layak kalau kita mendahului mengkonsumsi suatu masakan walau sekedar mencicipi sebelum kita mejot atau melakukan sesembahan kepada sang pemilik semesta.
Sang pemilik semesta harus didahulukan dengan penuh rasa hormat.

Bisa dibayangkan betapa tidak mudahnya untuk bisa menjadi patus di Tenganan. Tidak boleh mencicipi, tetapi makanan yang keluar harus selalu enak.

Kalau ada masakan yang tidak enak sampai disuguhkan maka hancurlah repurtasinya sebagai patus.

Disinilah saya melihat kedalaman dari filosofi tidak boleh mencicipi itu.
Untuk bisa menjadi patus, seseorang itu harus belajar dengan sangat-sangat tekun dan intens. Dengan keheningan melebihi orang bermeditasi sampai ketrampilan memasaknya menjadi kesatuan yang utuh antara fisik dan jiwanya.

Sampai ketemu roh dari ilmu memasak itu. Orang Bali menyebutnya sampai “metaksu”.

Ketika kami berkunjung ke Tenganan, kami dibuatkan dan disuguhi masakan-masakan yang hampir semuanya berbahan lokal Tenganan. Ada paku (pakis), kelapa, jagung, kacang tanah, daun cemcem, ayam kampung, ikan dsb.

Dan saya betul-betul takjub karena semua masakan yang tanpa dicicipi oleh patusnya itu ternyata enaaaaak banget semua, serta enaknya punya ciri.

Enaknya mempunyai perbedaan “tone” dengan keenakan masakan di daerah kami.

Dari semua masakan itu, saya paling suka dengan sate asem, urab paku dan sambel matahnya yang tidak memakai terasi. Ketiganya menurut saya istimewa.
Swear.

Cc Putu Wiadnyana Denik Puriati Dega Erlangga Kadek Lisa Ismiandewi Domplong Suwita Made Adhi Werdi Bedol Daily Tamblingan Debi Hari Sanjaya

Salam dari Desa.

Penulis : Putu Ardana

Editor : Guntur Bisowarno

Kontributor