Wartaindonews — Namaku Yanti, seorang Ibu tunggal dengan 2 orang putri. Rara si sulung berumur 6 tahun dan Riri, adiknya 4 tahun. Suamiku sudah berpulang setahun yang lalu.
Dengan berbekal motor dan handphone bekas peninggalan suamiku, aku memilih menjadi ojek online untuk menghidupi kedua anakku. Aku hanya menunggu pesanan datang di rumah karena tidak bisa meninggalkan kedua anakku sendirian. Bila ada pesanan datang, baru mau tak mau aku meninggalkan mereka sebentar dan secepatnya kembali lagi. Mungkin karena itu pendapatanku sepi.
Hari sudah beranjak malam, waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB. Seharian ini baru satu pesanan yang datang, itupun membayar dengan uang virtual. Saldo uang virtualku tidak mencapai angka minimal, jadi tidak bisa kutarik di gerai atm. Sedangkan uang yang kupegang hanya tinggal selembar uang sepuluh ribuan.
Bensin sudah hampir habis, kedua anakku baru makan sepotong roti seharga dua ribu semenjak pagi. Itu pun kubagi dua.
Aku memutar otak, mencari cara agar uang ini bisa cukup sampai esok hari. Bila uang ini kubelikan sebungkus nasi untuk anak-anakku makan nanti, besok pasti aku tidak bisa menerima tarikan lagi.
“Dimana Engkau saat aku membutuhkan-Mu ya Allah,” lirihku. Tak sampai semenit kemudian HPku bergetar, pertanda masuk orderan. Ternyata yang masuk order makanan, “Alhamdulillah,” pekikku. Bergegas aku menuju motorku, dan berpamitan pada kedua putriku.
Setelahnya aku segera mengirim pesan pada pelangganku
“Malam Mbak, pesanannya sesuai aplikasi ya?,” sapaku.
“Malam Bu. Ia sesuai aplikasi ya.”
“Baik, mohon ditunggu,” balasku.
Aku segera memacu sepeda motorku ke warung bensin terdekat. Kuserahkan lembaran uang terakhirku, “Kalau orderan ini selesai, aku bisa menarik uangku di atm dan membeli makanan kesukaan Rara dan Riri,” batinku.
Kubuka HPku untuk memastikan orderanku tidak dibatalkan.
“Bu, minta tolong nanti pesananku tidak usah diantar ke rumah ya, titip untuk anak-anak Ibu. Terimakasih,” begitu isi chatnya.
Tertegun. Kubaca berulang kali chat yang pelangganku kirimkan. Segera kubalas chatnya dengan untaian doa dan ribuan ucapan terimakasih. Ya, Allah menjawab doaku.
Kupacu sepeda motor ke resto yang GPS tunjukkan padaku. Sepanjang jalan tak henti-hentinya kuucapkan Alhamdullilah. Tak sampai 5 menit kemudian aku sampai di tempat tujuan, gelap. Restonya sudah tutup. Bagaimana ini, pikirku. Segera ku chat pelangganku tadi
“Mbak, maaf. Ini saya sudah di depan restonya. Kok sudah tutup ya Mbak? Kalau di aplikasinya bagaimana Mbak?”
“Loh, di aplikasi masih buka Bu restonya.”
“Sebentar Mbak, ini saya di depan restonya. Saya fotoin ya Mbak,” segera kuarahkan kamera HPku dan mengambil foto lalu mengirimkannya pada pelangganku.
“Yaah, kok udah tutup ya Bu. Harusnya kalau sudah tutup nggak bisa order sayanya. Gimana ya Bu?”
“Ya Mbak, sudah tutup. Apa mau ganti resto aja Mbak?,” tawarku.
“Kalau ganti resto gimana caranya Bu? Kalau yang ini saya cancel kan berarti belum tentu Ibu yang dapat orderan saya nanti.”
“Ya udah, nggak papa Mbak. Mungkin belum rejeki saya,” jawabku sambil meremas ujung jaketku saat membalas chatnya.
“Yaah.. maaf banget ya Bu kalau begitu. Maaf banget, saya cancel ya berarti.”
“Ia Mbak nggak papa,” kuakhiri chat dengan pelangganku.
Ting !
Pemberitahuan pembatalan pesanan pun masuk ke HPku. Aku berjongkok memeluk lututku, menangis tanpa suara, sedih dan pilu rasanya. Tanpa sepeser uang dan sedikit saja makanan : “Ya Allah, sampai batas mana lagi hamba harus bersabar. Untuk Rara dan Riri makan saja ya Allah, buat makan mereka saja..,” ratapku.
Hampir lima menit lamanya aku menangis. Tak henti-hentinya hati ini memberontak pada-Nya.
Ting !
Kembali HPku berbunyi, tanda ada pemberitahuan yang masuk. Aku sudah pasrah. Bila yang masuk adalah orderan makanan akan langsung aku batalkan karena aku tidak punya cukup uang untuk membeli. Semoga saja yang datang pesanan antar jemput penumpang, batinku.
Ku tatap layar HPku, dan tak percaya apa yang aku baca.
“Pelanggan 08153455****, melakukan pembayaran sebesar Rp. 100.000,- melalui G*pay.”
Ini kan no pelanggan yang membatalkan pesanannya tadi, pekikku. Segera kukirim pesan pribadi melalui sms padanya,
“Malam Mbak, sepertinya Mbak salah transfer dana ke HP saya ya Mbak?,”
“Nggak kok Bu, itu buat ganti yang tadi Bu. Titip buat makan malam Ibu dan anak2 Ibu ya.”
“Beneran Mbak?”
“Bener kok Bu, masa saya bohong.”
“Terimakasih banyak yang Mbak, terimakasih banyak. Biar makin banyak rejekinya buat Mbak dan keluarga Mbak ya,”
“Amin. Doa yang sama ya Bu buat Ibu dan keluarga.”
Aku masih terpaku dengan sms yang baru saja aku baca, rasanya benar-benar nggak bisa dipercaya. Dalam waktu tidak sampai 1 jam Allah menaikturunkan emosiku dan menjawab semua doa dan kegelisahanku.
“Ya Allah, ampuni hamba yang meragukan-Mu. Hamba benar-benar malu sudah berburuk sangka pada-Mu. Maha besar Engkau dengan seluruh kemurahan-Mu yang selalu mendengar dan menjawab doa-doaku.”
Kuucapkan doa itu berulang-ulang sepanjang perjalanan pulang. Tak lupa kubawakan sebungkus makanan kesukaan Rara dan Riri. Aku pulang.
Tuhan tidak pernah memberikan ujian melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Ia tidak pernah tidur dan mendengar doa-doa kita, saya dan semua pembaca.
Kisah inspiratif ini saya bagikan dari akun seorang sahabat, karena sangat indah. Pun sanggup menguatkan kita semua bahwa kekuasaan Tuhan memang tak terbatas. Selain itu, Tuhan selalu, ya selalu mendengarkan umat-Nya. Sahabat, jangan pernah menyerah kalau sama Tuhan, karena Dia maha mendengar. (*)
Comment