Lokasi WARUNG M@NUMADI ada di dekat TELAGA WAJA Karangasem Bali.
Budaya Pertama : Sinergitas Peradaban Nusantara :
Pengantar Peradaban Pawon Dari Jawa Timur
Ada 2 Peninggalan Etnosains: perkara Peradaban Pawon Sewu, Pertama oleh Penanggung Jawab Tim Damar Panuluh Nusantara, Rianto ada Peninggalan Peradaban Pawon Sewu dari Raja Raja Jawa di Kediri Sedangkan dari Mohammad Kholil Yayasan Abdilah Lawang Klosot Sidodadi menyebutkan adanya Petilasan dan Jejak Peradaban Pawon Sewu dari Kerajaan Singosari yang membentang sangat luas dari Pegunungan Perbukitan Singosari Lawang Nongkojajar Tutur Sampai ke Pegunungan Bromo Tengger Semeru.
Bagi Kader Dongker Owner WARUNG M@NUMADI yang juga pemandu Wisata Arum.Jeram Telaga Waja, Karangasem Bali, “Pawon. Dari jaman kejaman selalu menjadi sumber dari kehidupan manusia…Baek kuno, yang klasik sampe modern hingga milenial sampai yang futuristik”.
Telaga Waja adalah sungai yang terletak di timur Bali, Indonesia. Sungai ini bermata air di lereng Gunung Abang dan melewati kota-kota dan lereng bertumbuhan liar di sepanjang wilayah Desa Rendang, bermuara ke laut di Kabupaten Klungkung.
Riset dan Kajian Lembaga Bamboo Spirit Nusantara ;
Sumatera Jawa Bali Lombok hingga Bentangan Katulistiwa Nusantara Kita ini berada dalam Radius Kawasan Peradaban Api Brahma karena ada di 2 lempeng jajaran pegunungan berapi di katulistiwa ini, ada di 2 jalur “ring of fire” bumi ini dan 2 samudera, berarti peradaban air tirta pawitra : segoro wukir gunung, segara samudera lautan mengukir gunung, sungai lembah danau kali ketemunya di peradaban dapur peradaban pawon.
Budaya Kedua : Sinergitas Prasasti Kuno :
*Team Riset Aksara Kuno Bamboo Spirit Nusantara: Ruh Anda G.K.”
“Pirnabatera badkahodu maevasa hungaria” yang artinya adalah :
1. terjelaskan disetiap kalimat – ghocan sayatkaze ailandhara – gerak tangan dibantu alat nyata mencipta ukir frasasti memakai kemampuan ghoib untuk hasilkan karya sempurna, setiap kalimat adalah singkatan bukan bahasa utuh.
2. isi tersurat dari kalimat terukir menjelas tentang gunung merapi yang ada sebagai penyeimbang alam nyata. gunung merapi terbanyak ada dilaut tertutup airnya, sebagaian terlihat menjulang didaratan. berfungsi sama sebagai jalur gas yang dihasilkan lembab panas dari tumpuk batu bebatu alam, serta penghasil – senteca vancita zat asam, manis, pahit, asin.
3. diperlihat setiap gunung merapi yang ada di laut untuk penjelas, setiap gempa bumi adalah diakibat dari gunung merapi dibawah air mengeluarkan gas atau pecah sehingga terjadi getaran.
Budaya Ketiga : Sinergitas Kesadaran Pribadi :
#KesadaranMenuPawonBali# : =
“Manusia dikenali dari makanan dan budaya peradaban pawon dapurnya”;
energi semesta badan fisik ini sangat mempengaruhi daya energi jiwa dan energi spirit ruhnya, karena badan ini lah yang menjadi kendaraan jiwa langgeng dari Tuhan Sang Pencipta Kita, untuk menjalan tugas perutusanNya di bumi ini;
sedang MENU MANUM@DI adalah MEditasi NUsantara Menuju Kesadaran Sam@dhi Sam@ Sang Hyang Widi, yaitu jiwanya tegak pada jalan yang lurus, tegak pada jalan kebenaran dan ruh spiritnya PATUH SEUTUHNYA pada Kehendak Tuhan yaitu tundak pada ada ~ hadir ~ insyaf ~ mengerti adanya : sadarnya energi cinta kasih sayang ilahi;
semua bentuk budaya peradaban manusia dan gerak alam semesta raya beserta seisinya ini, berasal bersama dan KEMBALI ke sana secara esensi~esensialitas; sinergi~sinergitas dengan kesadaran energi spiritual cinta kasih sayang ilahi seutuhNya seluas luasNya, sedalam dalamNya, semua segala galaNya diliputiNya, Tuhan Maha Meliputi ini.
Budaya Keempat : Sinergitas Kesadaran dan Kecerdasan Spiritual :
Pertemuan Kesadaran Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Spiritual dengan Gede Kresna :
Bagi seorang Dini Nurhadi Yasyi seorang “The Content Writer Connection” Strong Research Professional with a Bachelor’s from Universitas Padjajaran berhasil menulis konten koneksi berupa gagasan besar dari Gerak Pikiran, Ucapan dan Tindakan Seorang Gede Kresna. Kita sendiri pernah berjumpa dan bersama Gede Kresna dalam acara *LIBAF : Lombok International Bamboo Architectur Festival: Re~Design The World With Bamboo” di Pantai Senggigi Lombok Barat Nusa Tenggara Barat.
Filosofi Dapur dari Bali: Penyelesaian Persoalan Rumah Tangga Hingga Negara.
Oleh : Dini Nurhadi Yasyi
16 SEPTEMBER 2020 11.30 WIB
Bagi masyarakat Hindu di Bali, ritual untuk singgah ke dapur setelah bepergian adalah hal yang mesti dilakukan saat pulang ke rumah. Hal ini diyakini mampu menetralisir aura negatif yang terbawa oleh manusia dari luar rumah. Unsur api yang erat kaitannya dengan dapur dipercaya mampu melebur dan menyucikan manusia.
‘’Bagi orang Bali, dapur adalah yang pertama dan utama. Kalau membangun rumah, dapur yang pertama kali dibangun. Dapur ditempatkan di tempat paling strategis, di depan,’’ ungkap Gede Kresna, seorang Arsitek dan Founder Rumah Intaran Bali saat sesi diskusi daring kolaborasi antara Membumi Lestari dan Good News From Indonesia yang bertajuk Revolusi dari Dapur: Gagasan Kemandirian dari Dapur Rumah Kita Sendiri, Selasa (8/9/2020).
Gede menjelaskan bahwa ada perbedaan energi antara di luar rumah dan di dalam rumah. Dan sudah menjadi ritual wajib yang dilakukan kalau dapur adalah tempat singgah pertama ketika orang Bali pulang ke rumah. Bukan ke kamar, maupun ke tempat lain.
[Catatan : Penting Sekali Kita Bisa Membedakan Ritual adalah Melakukan dan Spiritual adalah Mengalami red.]
Meski lahir dan tumbuh di Bali, Gede mengaku butuh waktu sampai empat tahun untuk akhirnya menemukan keistimewaan dari sebuah dapur. Apalagi setelah dirinya merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan tinggi dan memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya.
Bahkan butuh waktu pertimbangan yang cukup alot antara dirinya dan keluarga untuk pindah dari daerah perkotaan di Denpasar menuju ke pedesaan, khususnya ke pedesaan dibagian utara Bali.
‘’Dapur ini adalah tempat terbaik untuk memperbaiki persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Ketika hari ini kita punya masalah tentang sampah plastik, itu bermuara di dapur. Masalah kesehatan juga dapat diselesaikan di dapur,’’ jelas Gede.
Abu dari Dapur yang Bermakna
Bukan tanpa alasan mengapa dapur memiliki keistimewaan dan tempat khusus yang kerap paling dipertimbangkan oleh orang Bali. Selain karena keyakinan sebagai tempat meditasi untuk penguraian energi negatif dari luar rumah, posisi dapur juga merupakan sebuah penghormatan orang Bali terhadap Dewa Brahma.
Posisi dapur bagi orang Bali biasanya berada di arah selatan, sesuai dengan arah Dewa Brahma sebagai dewa yang berstana (ber-istana) di dapur. Selain itu, dalam perhitungan pembagian pekarangan rumah berdasarkan Asta Kosala Kosali, arah Barat Daya yang merupakan arah pertemuan antara Nista dan Nista.
Itulah mengapa dapur kerap diposisikan sebagai tempat yang paling dekat dengan pintu masuk rumah, sehingga ketika hendak masuk rumah, maka dapur adalah tempat yang terdekat yang harus disinggahi oleh penghuni rumah tersebut saat pulang dari bepergian. Tentu saja hal ini mengacu pada konsep penyucian yang dimaksud.
Gede menjelaskan, bahwa ada perbedaan substantif antara dapur dan kitchen. Istilah serapan bahasa Inggris itu adalah konsep dapur yang saat ini masyarakat modern aplikasikan.
Perbedaannya terdapat pada konsep ‘’abu’’ yang dihasilkan di dapur.
‘’Bahasa Jawanya dapur itu kan, pawon. Peawuan. Hawu. Abu. Hari ini sebagian masyarakat kita tidak menghasilkan hawu (di dapur).
Kita juga membedakan dapur yang menghasilkan abu dengan dapur yang tidak menghasilkan abu. Kalau dapur yang menghasilkan abu, yang kita sebut pawon itu meditatif. Orang Jawa, orang Bali, sama. Bekerja di dapur itu sangat meditatif, sangat fokus, konsentrasi. Jadi itu yang membedakannya,’’ jelas Gede.
Budaya Kelima : Pikiran Tonggak Budaya Peradaban :
[Catatan : #Teori & Praktek Meditasi Khairuddin Lubis red.]
Terbangkitkan Kesadaran Spiritual Kita dari Ilusi Kepraktisan Dunia Modern
Maka banyak orang yang menilai bahwa dapur modern yang digunakan masyarakat saat ini adalah soal kepraktiksan, maka Gede mempertanyakan hal itu. Dia bahkan mengatakan itu hanya soal ilusi saja.
‘’Semua mengatas namakan kepraktisan, kemudahan, tapi sebenarnya tidak lebih mudah dan praktis juga,’’ ungkap Gede.
Gede mencontohkan, jika memasak menggunakan tungku tanah memerlukan waktu dua jam, lalu memasak masakan instan memerlukan waktu setengah jam, maka seolah ada waktu satu setengah jam yang ‘’terbuang’’ kala menggunakan tungku tanah.
‘’Tanpa sadar, pada saat kita memasak di dapur-dapur tanah, kita sebenarnya sedang melakukan meditasi, melakukan yoga, healing. Sekarang kita kalau hitung berapa waktu kita memasak di dapur instan, kemudian pergi ke tempat yoga, terus pulang lagi. Berapa waktunya? Kan lebih banyak (memakan waktu) kalau dibandingkan kita memasak di dapur yang all in one,’’ pungkasnya.
‘’Belum lagi kalau kita bicara makanan instan itu tidak lebih sehat dibandingkan makanan yang alami. Berapa waktu yang kita gunakan untuk pergi ke dokter untuk memeriksa kesehatan? Ini kita masuk dalam fase ilusi,’’ kata Gede lagi, dalam pola pikir yang mau berpikir nya, daya kritisnya, menggunakan contoh akal sehatnya.
Di satu sisi ternyata hal-hal instan tersebut sebenarnya bukanlah hal yang terbaik yang bisa diberikan kepada penghuni rumah. Hal ini juga yang pernah Gede rasakan kala mempertimbangkan untuk pindah ke pedesaan dari daerah perkotaan di Denpasar.
[Catatan : “Dalam cerdas mencerdaskan rasa perasaan nya yang kecerdasan menjadi dasar pilihan utama kesadaran diri, kehendak bebas, imajinasi kreatif, dan sikap proaktivitasnya Gede Kresna.” red.]
‘’Apa sih yang paling mewah yang bisa kita berikan ke anak-anak kita? (Itu) adalah makanan sehat. Nggak ada yang lain. Ketika kita makan yang bagus, kita juga kan menghasilkan generasi yang bagus,’’ katanya.
[Catatan : Petani, Ibu dan Guru adalah Tonggak Budaya Peradaban red.]
Menyelami lebih dalam kegiatan manusia di dapur, Gede mengungkapkan bahwa gerakan-gerakan orang di dapur itu memiliki unsur gerakan-gerakan yang sama dengan Surya Namaskar yang merupakan gerakan-gerakan yoga.
‘’Jadi kalau kita sudah bekerja di dapur itu sebenarnya kita sudah melakukan yoga. Gerakan-gerakannya sama,’’ ungkapnya.
Dalam kepercayaan Bali, dapur sangat erat kaitannya dengan Dewa Agni, terutama pada tungku dapurnya yang disebut cangkem paon dalam bahasa Bali. Cangkem paon memiliki sifat sarwa daksa, yang artinya membakar apapun yang berada disekelilingnya.
Dan abu hasil pembakaran itu sebagai bukti yang bermakna untuk ‘’membakar’’ segala energi negatif yang manusia bawa dari luar rumah.
Bukan Hanya Persoalan Rumah Tangga, Tapi Juga Negara.
Bagi Gede, seluruh persoalan besar, termasuk persoalan di negeri ini sebenarnya bermuara di dapur.
‘’Sandang, pangan, papan, adalah yang paling dasar. Persoalan hidup kita ada di situ. Persoalan mata pencaharian, kebutuhan sekunder, ada di dapur. Persoalan kesehatan juga bermuara di dapur. Persoalan pemerintah kan tidak jauh dari pendidikan dan kesehatan.
Sementara dapur adalah tempat terbaik untuk anak-anak muda kita nantinya,’’ jelas Gede.
Sumber: Diskusi daring Membumi Lestari, Revolusi dari Dapur: Gagasan Kemandirian dari Dapur Rumah Kita Sendiri | Laman Desa Sedang, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali | ]
Penulis : Guntur Bisowarno